Antara tubuh dan jiwa, hatiku berbicara

Tanpa dawai, bagaimanakah sebuah biola bisa bersuara? Biola bagaikan tubuh, dan dawai itulah jiwanya- tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia yang membuatnya bicara? Jiwa hanya bisa dibicarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia itu tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelmakan jiwa, tubuh itu bagaikan biola tak berdawai.

Namun berbeda dengan biola yang tak berjiwa, tubuh manusia yang hidup tetapi tidak mampu menjadi dawai bagi jiwanya, masih tetap menyimpan jiwa itu di dalamnya- mereka yang disebut tunadaksa bukanlah seongggok darah dan daging yang tumbuh seperti tanaman, karena bukan tanaman bagai memahami cinta para perawat dan menolak para perusaknya.

Betapa lama waktu yang dibutuhkan manusia untuk memahami jiwa : pernah dipuja sembari merendahkan tubuh dan melahirkan para pertapa; bisa dipinggirkan sembari memuja tubuh, dan melahirkan para peraga- ada kalanya tubuh dan jiwa tak dipisahkan, yang berarti tubuh menjadi sahih sebagai pencerminan jiwa; namun terlalu sering juga tubuh gagal menjadi cermin memadai bagi penampilan jiwanya.

Terlalu sering kita melihat kebalikannya : tubuh terindah untuk jiwa yang menjijikkan, jiwa terindah dalam tubuh yang mengerikan- tanpa berpengaruh sang tubuh dalam penilaian kita tentang jiwanya, dan betapa sering kita terseret karenanya.

Begitu banyak yang tidak cocok : wajah alim seorang pembunuh, wajah suci seorang pelacur, wajah miskin seorang dermawan, wajah jutawan seorang pengemis yang terlalu .banyak meminta untuk dirinya sendiri- padahal barangkali memang begitulah adanya, bukankah tidak mungkin memastikan kejahatan seseorang hanya dari wajahnya?

Jiwa kami, jiwa para tunadaksa sebenarnya hanya bisa diduga-duga saja oleh para perawat kami yang mulia, karena sebenarnyalah jiwa seorang tunadaksa tiada pernah bisa diselami oleh mereka yang tubuhnya bersarana sempurna, meski mereka menghabiskan waktu hidup mereka untuk memikirkannya.

Kami memahami jiwa kami dengan cara kami sendiri, dan dari sudut pandang kami, dengan keberadaan tubuh yang menampung jiwa kami, dengan segenap keutuhannya kami adalah juga makhluk yang juga sempurna : kami tidak sempurna bagi yang membandingkan ketubuhan kami dengan ketubuhan mereka, tetapi kami bertubuh sempurna dalam keberadaan kami sendiri.

Kami tidak mendengar karena kami tidak perlu mendengar, kami tidak melihat karena kami tidak perlu melihat, kami tidak bersuara karena kami tidak perlu bersuara, dan kami tidak berpikir karena kami tidak perlu berpikir- tubuh kami tumbuh dalam keutuhannya sendiri, bebas dari perintah-perintah kami, karena jiwa kami yang merdeka juga telah memerdekakan tubuh kami untuk kembali kepada diri mereka sendiri.

Seolah-olah kami tidak melihat dan mendengar, tetapi kami melihat dan mendengar, seolah-olah kami melihat dan mendengar, seolah-olah kami mediam dan membisu, tetapi kami tidak diam dan dan tidak membisu, seolah-olah kami tumbuh seperti tanaman dan tidak mampu berpikir, tetapi kami bukan tanaman dan kami berpikir dengan cara yang hanya kami bisa menghayatinya- semua ini terjadi bukan karena kami berusaha mengelabui, melainkan karena mereka yang merasa dirinya sempurna dan merasa kasihan kepada kami terkelabui oleh perasaan kertersempurnaannya sendiri. Kami sendiri tidak merasa kurang sama sekali, karena keberadaan tubuh kami adalah kelengkapan dalam kelahiran kami.

&&&

Apakah kami mendengar dan tidak mendengar daun-daun yang menguning dan berguguran diterbangkan angin? Apakah kami melihat dan tidak melihat keteguhan gunung yang diselimuti awan dan kabut berganti-ganti? Apakah kami merasa atau tidak merasa betapa senja yang keemasan telah memudar dan berganti malam hari? Apakah kami tersentuh atau tidak tersentuh oleh nyanyian jiwa yang bergelombang di sekitar kami? Apakah kami mengenal atau tidak mengenal kebesaran Tuhan dalam getaran semesta alam ini?

Dunia kami adalah ruang kosong yang belum dijelajahi : mereka yang merasa dirinya sempurna hanya mampu mempertimbangkan tubuh kami untuk menebak-nebak jiwa kami, namun usaha yang sudah lama dan luar biasa itu sejauh ini hanya bisa meraba-raba seperti apakah jiwa kami yang tersembunyi dalam ketubuhan yang sangat berbeda dengan ketubuhan mereka. Keberadaan jiwa  membuat kami hidup, tetapi adalah keberadaan hati membuat kami masih adalah manusia- dan karena adanya hati, kami mengenal cinta melampaui pancaindra.

Begitulah kami tidak akan pernah mendengar kata-kata cinta, tetapi hati kami akan merasakannya. Cinta akan membuat kami tenang, cinta membuat kami bahagia, dan cinta membuat kami terharu. Dari hari ke hari kami bagai dihidupkan oleh cinta sampai kami mati- tubuh kami, raga kami akan sangat cepat mati, tetapi kami tidak akan pernah hilang dari dunia ini : kami hidup dalam diri setiap orang yang mencintai kami. Adalah cinta yang akan menghidupkan kami dan adalah cinta yang akan selalu menyelamatkan manusia di bumi- kami para tunadaksa bagaikan penjelmaan para malaikat yang turun dari langit untuk menguji, seberapa jauhkan manusia memahami makna cinta kepada sesamanya sendiri.

Tentu saja kami mengerti betapa kami bukanlah jenis manusia yang terlalu sama dengan begitu banyak manusia di sekitar kami. Para tunadaksa bukanlah penari, para tunadaksa bukanlah penyair, para tunadaksa bukan pula para penyanyi- kami bukan ilmuan, bukan pedagang, bukan pula cendekiawan, apalagi negarawan. Bukankah kami tidak mempunyai bahasa seperti kamum bisu tuli bisa mempunyainya, bukankah kami tidak mempunyai kemampuan membaca seperti orang-orang yang buta bisa menguasainya, dan bukankah kami juga tidak mempunyai kemampuan meneremahkan pikiran seperti orang-orang lumpuh pun bisa melakukannya- namun dari hari ke hari kami mengada dalam dunia, memberi arti dan makna dengan cara yang hanya para tunadaksa mampu menyelaminya.

Mereka memang mencintai kami, dan hati kami telah disajikkan oleh cinta mereka, namun keindraan mereka yang berbeda dari keindraan kami telah menjadikan hubungan kami dengan mereka yang mencintai kami itu penuh misteri. Demikianlah kami dan mereka bagaikan saling meraba dalam kegelapan dan saling mengulur tangan. Ujung jari-jari kami bagai saling bersentuhan ketika mencoba saling mengenal, namun bukanlah keindraan yang telah mempertemukan kami, karena ketika jiwa mendekat bagai tiada berjarak, keindraan itu telah dilampaui.

Bahkan mereka tidak menggunakan matanya untuk melihat, telinganya untuk mendengar, dan telapak tangan untuk sekadar meraba. Jiwa mereka sering mendadak lebur dengan jiwa kami, namun bisa pula dengan sendirinya terlepas kembali : seandainya kami bisa berbicara, kami ingin memanggilnya agar jangan pergi, tetapi kami tidak memiliki sesuatu yang membuat kami bisa dimengerti- kami tidak mempunyai sarana untuk membahasakan diri kami.

Kami para tunadaksa, bagaikan jiwa yang melayang dalam kelam, jiwa yang melayang-layang dalam gua garba yang tiada akan pernah mencerminkan apa yang kami pikirkan, tidak pernah kami kehendaki, sekedar karena bahasa yang dimungkinkan oleh tubuh kami tidak begitu mudah dipahami. Tetapi tubuh kami adalah tubuh yang berjiwa, dan jiwa kami adalah jiwa jiwa yang berhati- kami adalah juga manusia, dan keberadaan tubuh kami membuat kami hidup secara murni.

&&&

Jika engkau mendengar suara biola, yang menyayat dan merintih di malam hari, apakah dikau mengira suara itu datang hanya karena gesekan gesekan tongkat bersenar kepada dawainya? Jika dikau mendengar suara biola, yang mendesah dan berbisik di malam sunyi, apakah dikau mengira suara itu datang hanya karena ada tangan yang menggesekkannya? Jika dikau mendengar suara biola yang meratap dan melengking di malam sepi, tidakkah dikau mengira tangan yang menggesek biola itu menjelmakan nada-nada dari dalam jiwa? Tetapi dari manakah datangnya nada-nada yang membentuk lagu dari dalam jiwa itu? Apakah lagu itu datang dari balik kegelapan dari sebuah semesta entah di mana? Dari balik kelam lagu itu datang untuk dimainkan seribu biola- tetapi apakah dikau mengira nada-nada itu tak ada, ketika tiada satu biola pun memainkannya dan dunia sepi suara?

Nada-nada itu ada meski kita tak mendengar suara, selama kita masih berjiwa. Adalah jiwa yang menggerakkan tubuh kita, namun adalah hati yang membuat rasa kita di luar keindraan kita, karena tanpa hati yang membuat kita memiliki rasa di luar keindraan kita, karena tanpa hati kita bukanlah manusia sedangkan hati adalah semesta nada-nada. Jiwa kita bagaikan lapisan-lapisan hati tanpa isi, namun ternyata jika lapisan itu dibuka tidak akan pernah ada habisnya. Setiap lapis hati bagaikan suatu galaksi dalam semesta jiwa yang tiada bertepi, darimana nada-nada dengan segenap sentuhannya mengembara, dari sebuah jarak yang milyaran tahun cahaya jauhnya hanya untuk menyapamu.

Setiap kali untaian nada menyentuh jiwamu, wahai saudaraku, sebenarnya dikau berhubungan dengan sebuah dunia dari hati yang berdenyar, yang tiada akan pernah berhenti berdenyar, selama cinta membasuh dan membelainya. Hanya mereka yang mengenal cinta bisa mendengarnya, dan hanya mereka yang bersedia mencintai dan dicintai bisa mengembangkan nada-nada itu di dalam jiwanya. Dengarlah lagu biola itu di dalam hatimu saudaraku, apakah biola yang semula satu telah menjadi seribu, ataukah hilang lenyap tak menentu?

Dalam semesta jiwa, nada-nada bagaikan kupu-kupu yang berterbangan mencari bunga-bunga cinta- mereka tidak akan hinggap di hati yang membatu, mereka tidak akan hinggap pada jiwa yang membeku, karena bunga-bunga cinta berkembang dan semerbak, mendenyarkan cahaya cinta seperti mencari madu kemurnian dunia akan melihat dan mendengarnya.

Cinta melampaui pancaindra, menyentuh langsung ke dalam jiwamu saudaraku, menyapa hatimu yang terbuka terhadap denyar nada-nada yang berterbangan seperti kupu-kupu dalam semesta jiwa. Jika suatu hari kita berjumpa wahai saudaraku, ketahuilah bahwa sebenarnya dikau melihat tapi tak melihat kami, karena dikau hanya melihat dan mendengar suatu penampakan yang hanyalah suatu penampakan, karena suatu penampakan adalah sejuta makna di sebaliknya. Namun jika dikau menatap, kami dengan mata hatimu saudaraku, kami adalah kupu-kupu bagi bunga-bunga cintamu, adalah nada-nada bagi lagu jiwamu, adalah kata-kata bagi puisi dalam hatimu.

Karena kami tunadaksa, maka suaramu akan menjadi suara kami, karena kami tunadaksa maka bahasamu akan menjadi bahasa kami, karena memang kami tunadaksa bagimu, maka dirimu akan menjadi dawai bagi biola jiwa kami.

Tetapi kami adalah selalu dari kami sendiri, yang tidak akan pernah sepenuhnya dikau mengerti.

 

 

Oleh Seno Gumira Ajidarma dalam Biola Tak Berdawai, penulis serba bisa, yang setiap membaca karyanya aku terdorong untuk juga dapat mengikuti jejaknya, inspirator terbesar dalam beberapa kalimatku.

0 komentar:

Posting Komentar

Niken Ayu. Diberdayakan oleh Blogger.