Telepon tiba-tiba berdering, suaranya terdengar ke semua ruangan, mulai
dari puncak gedung hingga lantai basement, semua mendengar dering telepon. Di
toilet-toilet kantor, eskalator-eskalator, orang yang ada di dalamnya mendengar
suara telepon itu.
Aku masih tertidur. Mataku terasa berat. Tapi aku mendengar suara telepon itu. Suara telepon yang masih berdering tiada henti.
Suara telepon itu membuatku takut. Aku selalu takut jika mendengar suara
telepon. Suara itu selalu menyeretku ke dalam kenangan, kenangan menyedihkan di
Jalan
. Kenangan pahit saat bulan setengah penuh. kenangan buruk yang terjadi pada
bulan November. Aku selalu takut juka mendengar suara telepon. Suara itu selalu
membanting jiwaku ke dalam kepahitan. Suara itu mengingatkanku pada peristiwa
penembakan di depan mataku. Seorang lelaki tua meronta-ronta, meminta tolong
namun tak seorang pun yang mengulurkan tangannya. Lelah ia menjerit, suara yang
terdengar hingga ke ujung jalan perlahan merendah lalu hanya terdengar
rintihan. Jeritan kuatnya menyisakan rintihan. Rintihan yang tak didengar oleh
seorang pun.
Suara telepon masih berdering, aku membiarkannya. Aku masih terngiang pada bayang-bayang
peristiwa yang membarengi suara tembakan itu. Pada malam itu aku mengintip
dari jendela lantai empat gedung ini, kulemparkan pandangan ke luar dan kulihat seorang
wanita menembaki pria tua itu. Tanpa ampun! Kuhitung sepuluh peluru keluar dari
pistol yang digenggamnya. Lalu suara rintihan itu hilang, berubah
menjadi keheningan khas malam. Pria itu tidak lagi merintih, pria itu mati.
Aku takut, seluruh tubuhku terasa gemetar dan panas. Aku
tak dapat beranjak dari jendela, kakiku terasa kaku dan berat untuk melangkah.
Tiba-tiba tubuhku terasa lemas seperti tak bertulang lagi, kakiku tak mampu
menopang tubuh dan aku tak tahu apa yang terjadi berikutnya. Tiba-tiba saja,
aku sudah berada di atas sofa dan ada seorang lelaki menemaniku. Mataku masih
remang-remang dan setelah dapat melihat dengan jelas aku mulai mengenali siapa
dia. Dia adalah Tom, temanku. Dengan cepat ingatan semalam kembali
menghantuiku. Aku terlihat takut, sangat takut, aku memeluk Tom dengan erat. Ia
menanyakan keadaanku namun aku tak mengeluarkan sepetah kata pun. Aku masih
memeluknya, ia membelai rambut dan mencoba menenangkanku. Setelah kuteguk
segelas air dan menghela nafas barulah aku dapat mengucap kalimat.
“Aku melihat seorang pria dibunuh semalam, di jalan depan
gedung ini”
“Kau behalusinasi, San”
“Tom, aku serius, aku sadar, aku benar-benar melihat
peristiwa itu”
“Ah.. mungkin berita-berita kriminal yang lebih banyak
dari biasanya ini membuatmu terbayang-bayang” ucap Tom sambil membuka dan
membaca tulisan di atas meja kerjaku. Pembunuhan Seorang Istri oleh suaminya,
perampokan toko emas menewaskan satu pegawai, seorang anak dibunuh ayah
kandungya, sebuah minimarket kemalingan, perampokan, pembunuhan, maling, haah...
lihatlah ini, kasus-kasus kriminal yang lebih banyak dari biasanya, aku rasa
ini yang membuatmu berhalusinasi”
Tom tidak percaya pada kata-kataku dan justru menganggap
aku berhalusinasi. Padahal aku sangat sadar sesadar-sadarnya bahwa aku melihat
seorang wanita menembak pria itu hingga tewas.
“Tom, mengapa kau tak percaya pada ucapanku? Aku melihat
dengan mata kepalaku sendiri bahwa ada pembunuhan di depan gedung ini”
“Sanaz, kau menghayal, tidak ada apa-apa yang terjadi di
depan kantor ini, jalanan ramai seperti pagi-pagi biasanya. Tidak ada apa pun
yang terjadi semalam”
“Kau bohong, Tom” jawabku. Aku marah pada Tom karena tak
memercayaiku dan aku pergi mendekati jendela untuk melihat ke jalan. Jalan itu
ramai seperti biasa, namun tak ada tanda-tanda bahwa ada sebuah pembunuhan
semalam.
“Polisi pasti telah membereskan kasus ini pagi-pagi
sekali sebelum aku sadar dari pingsan” kataku bersikukuh tak percaya.
Aku menuju lobby dan menemui resepsionis untuk mengambil
koran harian. Lalu aku kembali ke ruang kerjaku. Satu persatu koran kubuka
dengan sangat cepat, aku tak meihat berita yang lain, aku langsung menuju kolom
kriminal dan kejahatan. Mataku dalam sekejap membaca headline berita di
halaman-halaman koran. Selesai koran yang satu aku membuka koran yang lain. Aku
membacanya dengan cepat namun teliti. Nihil, tak ada satu pun berita tentang
pembunuhan di depan kantor ini. Aku merasa tak puas, maka aku menyalakan
televisi. Aku mencari channel yang menayangkan berita-berita. Remote televisi
terus kupencet, aku masih mencari siaran berita itu, tapi sama saja, tak
membuahkan hasil seperti yang aku harapkan. Tom hanya melihati diriku yang seperti
orang kerasukan pagi itu. Wajahku menakutkan, rambutku berantakan, mataku merah
memandakan ketakutan yang luar biasa. Badanku gemetar namun aku merasakan
diriku masih waras, sangat waras.
“Kalau begitu aku yang akan menuliskannya, Tom”
“Menulis apa?”
“Menulis apa katamu? Menulis berita pembunuhan itu, Tom,
apa lagi? Tak ada satu pun koran yang memuat berita ini, juga televisi tak ada
satu pun yang menyiarkannya. Tentu aku akan menuliskannya, dan koran kita akan
menjadi satu-satunya koran yang memuat berita tragis itu, seorang perempuan
menembaki pria tua hingga tewas.”
“Kau gila? Bagaimana kau akan menuliskannya? Peristiwa
itu saja tidak pernah terjadi, San. Tidak pernah ada peristiwa penembakan pria
tua, tidak ada, San” Tom menbantah perkataanku “kau mau orang menertawakan
koran kita karena ada berita bohong yang ditulis oleh seorang redakturnya, San,
hjangan megada-ada, aku yakin kau hanya berhalusinasi. Kau telah lihat sendiri
bahwa jalan di depan itu terlihat normal, lagi pula jika kau mau menuliskan
berita itu kepada siapa kau mencari sumber berita? Siapa yang akan kau tanyai.
Jangan gila dengan halusinasimu itu. Aku sarankan kau untuk mengambil cuti
saja, lalu berlibur kemana lah yang kau suka” ucapan Tom membuatku terdiam. Ya,
Tom benar, kepada siapa aku mencari keterangan jika aku akan menuliskannya.
Otakku terus berfikir tapi aku tak punya kalimat untuk membantah kata-kata Tom.
Namun belahan pemikiranku yang lain berkata bahwa aku tidak sedang
berhalusinasi dan aku benar-benar yakin peristiwa itu terjadi.
Aku berjalan menuju jendela tepat di mana aku melihat
peristiwa itu. Kulempar pandangan ke jalan, jalanan itu normal seperti biasa.
Misteri penembakan pria tua oleh seorang wanita itu masih
menjadi misteri. Miseri untuk diriku sendiri. Bahkan hingga dua tahun berlalu
berita itu tak pernah terungkap. Jangankan untuk terungkap, aku tak pernah
mendengar desas-desus dari satu orang pun akan kejadian itu. Tak satu orang
pun. Sesekali aku bertanya pada tukang becak, penjaga konter, tukang bubur,
atau pejalan kaki yang ada di sekitarnya, jawaban mereka semua sama. Mereka tak
pernah mendengar apa lagi menyaksikan penembakan tersebut. Maka misteri
penembakan pria tua oleh seorang waita itu tetap menjadi misteri, akan menjadi
misteri, misteri untuk diriku sendiri.
Suara telepon berdering kembali, aku tak mengangkatnya,
badanku gemetar ketakutan. Suara telepon itu terus berdering.
Sby & Kra. 02 November 2014. NA
niken, tulisanmu?
BalasHapusiya laaan, jelek yaa. :D
BalasHapus