PRIA YANG DITEMBAK

Mataku masih terpejam. Terdengar sayup-sayup suara mereka mulai masuk satu per satu. Yang satu memanggil nama K, lalu suara kendaraan tak henti-hentinya mengisi jalanan. Suara kipas angin di pojokan juga masih berputar, masih sama sayup-sayup. Anginnya terasa menyejukkan ruangan yang pengap ini. Panas, matahari begitu menyengat di luar sana. Barangkali di seberang jalan di luar sana ada seorang penarik becak yang tersengat oleh panasnya. Atau pengamen-pengamen jalanan, yang memainkan alat musik yang hanya terbuat dari ‘kempyeng’, juga berjubel dengan panas ini. Semua berseru ‘panas’. Memang panas, sangat panas. Semua seperti sedang mengutuk panas matahari ini.
Telepon tiba-tiba berdering, suaranya terdengar ke semua ruangan, mulai dari puncak gedung hingga lantai basement, semua mendengar dering telepon. Di toilet-toilet kantor, eskalator-eskalator, orang yang ada di dalamnya mendengar suara telepon itu.

Aku masih tertidur. Mataku terasa berat. Tapi aku mendengar suara telepon itu. Suara telepon yang masih berdering tiada henti.
Suara telepon itu membuatku takut. Aku selalu takut jika mendengar suara telepon. Suara itu selalu menyeretku ke dalam kenangan, kenangan menyedihkan di Jalan . Kenangan pahit saat bulan setengah penuh. kenangan buruk yang terjadi pada bulan November. Aku selalu takut juka mendengar suara telepon. Suara itu selalu membanting jiwaku ke dalam kepahitan. Suara itu mengingatkanku pada peristiwa penembakan di depan mataku. Seorang lelaki tua meronta-ronta, meminta tolong namun tak seorang pun yang mengulurkan tangannya. Lelah ia menjerit, suara yang terdengar hingga ke ujung jalan perlahan merendah lalu hanya terdengar rintihan. Jeritan kuatnya menyisakan rintihan. Rintihan yang tak didengar oleh seorang pun.
Suara telepon masih berdering, aku membiarkannya. Aku masih terngiang pada bayang-bayang peristiwa yang membarengi suara tembakan itu. Pada malam itu aku mengintip dari jendela lantai empat gedung ini, kulemparkan pandangan ke luar dan kulihat seorang wanita menembaki pria tua itu. Tanpa ampun! Kuhitung sepuluh peluru keluar dari pistol yang digenggamnya. Lalu suara rintihan itu hilang, berubah menjadi keheningan khas malam. Pria itu tidak lagi merintih, pria itu mati.
Aku takut, seluruh tubuhku terasa gemetar dan panas. Aku tak dapat beranjak dari jendela, kakiku terasa kaku dan berat untuk melangkah. Tiba-tiba tubuhku terasa lemas seperti tak bertulang lagi, kakiku tak mampu menopang tubuh dan aku tak tahu apa yang terjadi berikutnya. Tiba-tiba saja, aku sudah berada di atas sofa dan ada seorang lelaki menemaniku. Mataku masih remang-remang dan setelah dapat melihat dengan jelas aku mulai mengenali siapa dia. Dia adalah Tom, temanku. Dengan cepat ingatan semalam kembali menghantuiku. Aku terlihat takut, sangat takut, aku memeluk Tom dengan erat. Ia menanyakan keadaanku namun aku tak mengeluarkan sepetah kata pun. Aku masih memeluknya, ia membelai rambut dan mencoba menenangkanku. Setelah kuteguk segelas air dan menghela nafas barulah aku dapat mengucap kalimat.
“Aku melihat seorang pria dibunuh semalam, di jalan depan gedung ini”
“Kau behalusinasi, San”
“Tom, aku serius, aku sadar, aku benar-benar melihat peristiwa itu”
“Ah.. mungkin berita-berita kriminal yang lebih banyak dari biasanya ini membuatmu terbayang-bayang” ucap Tom sambil membuka dan membaca tulisan di atas meja kerjaku. Pembunuhan Seorang Istri oleh suaminya, perampokan toko emas menewaskan satu pegawai, seorang anak dibunuh ayah kandungya, sebuah minimarket kemalingan, perampokan, pembunuhan, maling, haah... lihatlah ini, kasus-kasus kriminal yang lebih banyak dari biasanya, aku rasa ini yang membuatmu berhalusinasi”
Tom tidak percaya pada kata-kataku dan justru menganggap aku berhalusinasi. Padahal aku sangat sadar sesadar-sadarnya bahwa aku melihat seorang wanita menembak pria itu hingga tewas.
“Tom, mengapa kau tak percaya pada ucapanku? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa ada pembunuhan di depan gedung ini”
“Sanaz, kau menghayal, tidak ada apa-apa yang terjadi di depan kantor ini, jalanan ramai seperti pagi-pagi biasanya. Tidak ada apa pun yang terjadi semalam”
“Kau bohong, Tom” jawabku. Aku marah pada Tom karena tak memercayaiku dan aku pergi mendekati jendela untuk melihat ke jalan. Jalan itu ramai seperti biasa, namun tak ada tanda-tanda bahwa ada sebuah pembunuhan semalam.
“Polisi pasti telah membereskan kasus ini pagi-pagi sekali sebelum aku sadar dari pingsan” kataku bersikukuh tak percaya.
Aku menuju lobby dan menemui resepsionis untuk mengambil koran harian. Lalu aku kembali ke ruang kerjaku. Satu persatu koran kubuka dengan sangat cepat, aku tak meihat berita yang lain, aku langsung menuju kolom kriminal dan kejahatan. Mataku dalam sekejap membaca headline berita di halaman-halaman koran. Selesai koran yang satu aku membuka koran yang lain. Aku membacanya dengan cepat namun teliti. Nihil, tak ada satu pun berita tentang pembunuhan di depan kantor ini. Aku merasa tak puas, maka aku menyalakan televisi. Aku mencari channel yang menayangkan berita-berita. Remote televisi terus kupencet, aku masih mencari siaran berita itu, tapi sama saja, tak membuahkan hasil seperti yang aku harapkan. Tom hanya melihati diriku yang seperti orang kerasukan pagi itu. Wajahku menakutkan, rambutku berantakan, mataku merah memandakan ketakutan yang luar biasa. Badanku gemetar namun aku merasakan diriku masih waras, sangat waras.
“Kalau begitu aku yang akan menuliskannya, Tom”
“Menulis apa?”
“Menulis apa katamu? Menulis berita pembunuhan itu, Tom, apa lagi? Tak ada satu pun koran yang memuat berita ini, juga televisi tak ada satu pun yang menyiarkannya. Tentu aku akan menuliskannya, dan koran kita akan menjadi satu-satunya koran yang memuat berita tragis itu, seorang perempuan menembaki pria tua hingga tewas.”
“Kau gila? Bagaimana kau akan menuliskannya? Peristiwa itu saja tidak pernah terjadi, San. Tidak pernah ada peristiwa penembakan pria tua, tidak ada, San” Tom menbantah perkataanku “kau mau orang menertawakan koran kita karena ada berita bohong yang ditulis oleh seorang redakturnya, San, hjangan megada-ada, aku yakin kau hanya berhalusinasi. Kau telah lihat sendiri bahwa jalan di depan itu terlihat normal, lagi pula jika kau mau menuliskan berita itu kepada siapa kau mencari sumber berita? Siapa yang akan kau tanyai. Jangan gila dengan halusinasimu itu. Aku sarankan kau untuk mengambil cuti saja, lalu berlibur kemana lah yang kau suka” ucapan Tom membuatku terdiam. Ya, Tom benar, kepada siapa aku mencari keterangan jika aku akan menuliskannya. Otakku terus berfikir tapi aku tak punya kalimat untuk membantah kata-kata Tom. Namun belahan pemikiranku yang lain berkata bahwa aku tidak sedang berhalusinasi dan aku benar-benar yakin peristiwa itu terjadi.
Aku berjalan menuju jendela tepat di mana aku melihat peristiwa itu. Kulempar pandangan ke jalan, jalanan itu normal seperti biasa.
Misteri penembakan pria tua oleh seorang wanita itu masih menjadi misteri. Miseri untuk diriku sendiri. Bahkan hingga dua tahun berlalu berita itu tak pernah terungkap. Jangankan untuk terungkap, aku tak pernah mendengar desas-desus dari satu orang pun akan kejadian itu. Tak satu orang pun. Sesekali aku bertanya pada tukang becak, penjaga konter, tukang bubur, atau pejalan kaki yang ada di sekitarnya, jawaban mereka semua sama. Mereka tak pernah mendengar apa lagi menyaksikan penembakan tersebut. Maka misteri penembakan pria tua oleh seorang waita itu tetap menjadi misteri, akan menjadi misteri, misteri untuk diriku sendiri.     
Suara telepon berdering kembali, aku tak mengangkatnya, badanku gemetar ketakutan. Suara telepon itu terus berdering.

Sby & Kra. 02 November 2014. NA

2 komentar:

Niken Ayu. Diberdayakan oleh Blogger.