Di seberang jalan raya ini, terlihat Parman sibuk dengan traktornya dari pagi tadi. Jam sudah siang begini, buruh tani ini belum juga berhenti untuk mengisi perut atau sekedar meneguk minum. Hanya satu batang rokok yang menemaninya, sesekali ia mengusap keringat pada dahi dan mengepulkan asap rokok ke udara. Panas matari yang membakar itu sudah tak dirasainya lagi, ia tahu itu adalah hal yang biasa. Suara bising kendaraan di seberang jalan itu tak dapat mengalahkan bisingnya suara traktor. Parman terus mendorong mesin pengganti kekuatan sapi pembajak sawah dengan sisa kekuatannya di usia senja. Traktor dibelokkannya ke kanan, lalu di dorong terus, lalu ke kiri lalu lurus mengikuti bentuk sawah hingga tanahnya gembur menjadi satu agar dapat ditanami benih padi. Padi yang dibutuhkan oleh manusia demi menyambung hidup. Yang setiap ada pembagian beras gratis ia selalu menjadi rebutan. Rupanya padi adalah hasil kerja manusia setengah tua seperti Parman, di setiap butir padi itu ada satu tetes keringat Parman. Keringat-keringat Parman juga untuk si padi.
Parman berhenti menraktor, sekarang mesin
yang memiliki berat 217 kg itu beralih pada seorang temannya. Parman menepi ke
bawah pohon, meraih botol air minum. Ia meneguk setengah botol air di dalamnya,
lalu duduk. Ia mengibaskan topi yang dipakainya, menghela nafas, merasai badannya
yang lelah karena membajak dari tadi
pagi. Sambil merasakan kelelahan, ia memerhatikan polisi yang ada di seberang
jalan itu. Lalu ia melamun, polisi itu membuatnya kembali pada kenangan saat ia
muda dulu. Ketika usianya baru seperempat abad. Bayang-bayang masa lalunya
kembali hadir dalam lamunan itu, betapa dahulu ia ingin menjadi seorang polisi.
Parman memang gagah, badannya tegap, kuat, dan perkasa, sebuah badan yang
sangat cocok untuk profesi polisi. Namun sayang, ia tak punya cukup uang untuk
biaya mendaftar menjadi polisi. Sebab itulah kini ia hanya mampu menjadi
seorang buruh tani, menjadi seorang yang susah. Buruh tani, menggarap sawah
milik orang, namanya saja juga buruh, buruh ya buruh mana bisa jadi mandor.
Buruh ya buruh, mana bisa hidup enak, naik mobil dan tak merasakan panasnya
matari. Buruh ya buruh, saban hari harus memeras keringat bergelut dengan tanah
sawah yang kotor, bukan lantai dari porselen.
Tiba-tiba langit sudah sore, senja mulai
terlihat di ufuk barat. Kilau cahaya matari yang galak siang tadi kini berubah
manis dan membuat siapa pun yang melihatnya merasa kagum. Sebentar lagi malam akan datang. Lamunan
Parman terhenti dan ia mengayuh sepeda ontel tuanya dan bergegas untuk pulang.
***
Istri Parman, Suminah, tengah berdiri di
pinggir pintu menanti suaminya pulang. Melihat suaminya yang terlihat sangat
lelah, Suminah pun memanggil anaknya yang paling tua agar membawa masuk sepeda
ontel Parman. Sementara Suminah membawakan suaminya minum dan memberikannya
pada Parman.
“Lelah, Pak?” tanya Suminah pada suaminya
“Iya, Bu. Hari ini bapak membajak tanpa
henti” jawab Parman sambil melihat anaknya yang ada pada gendongan Suminah.
Mendengar keluhan itu Suminah bingung harus
berbuat apa. Ia ingin mengatakan sesuatu namun takut pada suaminya dan tahu
bahwa ini bukanlah saat yang tepat. Dari siang Suminah terus mencoba merangkai
kalimat bagaimana untuk menyampaikan kegundahan hatinya. Ia terus berfikir dan
masih berfikir. Sambil basa-basi menanyakan hal-hal yang dirasainya tak
penting.
“Ayoh makan dulu, Pak, bapak pasti lapar”
ajak Suminah.
“Iya, Bu, biar bapak mandi dahulu, ibu
siapkan saja dulu makanannya”
Di bawah sinar bola lampu lima watt Suminah,
Parman, dan empat orang anaknya menikmati hidangan dengan lahapnya. Nasi
berlauk tempe goreng, rebusan daun singkong, dan sambal terasi itu terasa
nikmat bagi mereka semua. Cerita lucu anak Parman yang paling kecil memecah
tawa.
Selesai makan, anak-anak disuruh belajar
oleh Parman, sedang ia pergi ke halaman rumah. Di bawah sinar bulan purnama, Parman
menyembul asap rokok ke angkasa. Dihirupnya udara malam yang dingin itu bersamaan dengan asap rokok.
“Pak,” suara Suminah memanggil lembut
suaminya.
“Iya, Bu, ada apa?” tanya Parman menjawab.
Belum sempat Suminah menjawab, Parman
menanyakan Sugeng, anakknya yang paling kecil. “Sudah tidur Sugeng, Bu?”
“Sudah, Pak, baru saja” jawab Suminah.
“Ada yang mau ibu bicarakan dengan bapak”
“Apa, Bu? Bicara saja”
“Begini, Pak. Tadi siang sepulang sekolah,
Ratna minta uang untuk membayar ujian besok Senin, lalu Surya juga perlu uang
untuk membeli buku, belum lama setelah itu datang Roni yang juga mengadu,
katanya sepatunya sudah rusak, dia malu diejek oleh kawan-kawannya. Hendi juga
minta sepeda, ibu sudah janji pada dia kalau akan membelikan sepeda, Pak. Susu
anak kita yang bayi juga habis, Pak” Suminah terdiam, memberhentikan
kata-katanya.
“Hari ini bapak belum dapat uang, Bu, tadi
hanya membajak sawah dan belum dapat bayaran”
“Kita sudah tidak punya tabungan, Pak. Uang
hasil jual anting-anting ibu kemarin juga sudah habis untuk keperluan
sehari-hari”
“Bapak juga tidak punya uang, Bu”
“Lalu bagaimana ini, Pak? Kalau tidak
membayar ujian Ratna bisa tidak lulus nanti. Juga anak kita yang lain perlu
uang, Pak”
Mereka berdua saling pandang dan diam,
kepala dibiarkan berputar penuh tanya namun tak terjawab. Dalam kebingungan
keduanya saling mencari cara bagaimana mendapatkan uang untuk anak-anak mereka.
“Mau kemana, Pak?” tanya Suminah yang
melihat suaminya berdiri dari kursi.
“Coba bapak cari pinjaman, Bu”
“Mau pinjam ke mana lagi, Pak” sela Suminah
“uang yang kemarin kita pinjam dari orang-orang belum dapat kita kembalikan kok
mau pinjam lagi Pak, memangnya ada yang mau pinjami kita uang?”
“Iya, bapak coba dulu, Bu, siapa tahu ada
yang berbaik hati”
“Duh, Pak. Ibu malu kalau ketemu ibu-ibu
yang lain, setiap ke warung pasti disindir, hati ibu tak enak jadinya, Pak”
“Bu, keadaan kita memang tidak punya, mau
bagaimana lagi? Sudah, ibu tenang saja, berdoa, semoga kita dapat pinjaman,
bapak berangkat dulu”
***
Parman mengayuh sepeda, belum hilang rasa
lelahnya karena seharian membajak sawah kini ia harus bersusah payah mengayuh
sepeda mencari pinjaman uang unuk keperluan anak-anaknya. Sepuluh deret rumah
penduduk ia lewati, sesampainya di perempatan ia berbelok ke kiri. Ia akan
menuju ke rumah Pak RT, dalam hati ia terus berdoa agar kali ini Pak RT akan
meminjami uang. Parman telah sampai pada rumah Pak RT, rumah bercat kuning itu
terlihat sepi namun pintunya terbuka seolah menyambut kedatangannya. Parman
memasuki pekarangan rumah Pak RT, turun dari sepeda lalu menyandarkan sepedanya
di bawah pohon bambu. Parman memberanikan diri mengetuk pintu. Setelah tiga kali ia
ucapkan salam, keluarlah seorang perempuan dari dalam rumah.
“Maaf, Pak RT ada, Bu?” tanya Parman pada Bu
RT.
“Eh, ada Pak Parman, mari masuk, sebentar saya
panggilkan bapak dulu, monggo”
Parman masuk ke dalam rumah dan duduk di
kursi berwarna hijau. Hatinya terus berdoa, berharap Pak RT mau membantunya. Selang beberapa
menit Pak RT keluar dengan mengenakan kemeja dan sarung. Kelihatannya ia habis
sembahyang, pikir Parman.
“Ada keperluan apa Parman ke mari?” tanya
Pak RT ramah.
“Anu, Pak, begini, saya ini sedang dalam
kesulitan, saya ingin minta pertolongan pada Pak RT”
“Apa yang dapat saya bantu, Man?”
“Anak saya yang paling besar perlu uang
untuk membayar ujian, lalu yang masih SMP harus membeli buku, sedang yang SD
mengeluh sepatunya sudah jelek, Pak, ia malu diejek temannya terus, anak yang
masih bayi
juga perlu..........”
Pak RT memperhatikan dengan sungguh-sungguh,
lalu mendehem. Belum selesai ia
menceritakan keadaannya Pak RT memberikan tanggapan.
“Man, maaf saya tidak bisa
membantu, perekonomian kami sedang sulit setelah Bu RT operasi kemarin”
Parman keluar dari rumah
Pak RT lalu melanjutkan usahanya ke rumah Sobri, orang paling kaya di desa.
Sawahnya sepuluh hektar dan dia juga memilki perkebunan di Karanganyar. Parman
berharap ia dapat memeroleh pinjaman darinya. Parman mendatangi rumah Sobri dan
ia dipersilahkan masuk oleh istri Sobri. Tiga puluh menit menunggu akhirya
Sobri bertemu parman di ruang tamu.
“Mau pinjam berapa, Man?”
tanya Sobri pada Parman.
“Bagaimana Ndoro juragan
bisa tahu kalau kedatangan saya adalah untuk meminjam uang?”
“Ah, itu bukan hal yang
sulit bagi saya, selama ini yang datang ke rumah saya kalau bukan rekan kerja
ya orang-orang kere seperti kamu ini, Man”
Parman terkaget mendengar
perkataan itu, cepat-cepat ia menjawab pertanyaan juragan tersebut. “Anu, Ndoro,
saya benar-benar butuh uang, anak saya yang paling besar mau ujian, yang SMP
butuh perlu buku, lalu....”
“Mau pinjam berapa, Man?
To the point saja jangan bertele-tele, saya mau menikmati waktu bersama
istri-istri saya, jangan menghambat keinginan saya itu, cepat katakan kau butuh
berapa.”
“Lima ratus ribu, Ndoro”
Juragan itu lalu
mengeluarkan sebuah dompet dari sakunya, ia membuka dompet dan melemparkan uang
ke meja. Parman mengambil uang tersebut. Tapi tiba-tiba juragan juga memegang
uang tersebut bersamaan dengan Parman.
“Eits.... enak sekali kau
langsung ambil uang itu, tentu ada syaratnya, Man”
“Syarat? Syarat apa, Ndoro?”
tanya Parman ketakutan.
“Hemm” ndoro itu mendehem
“begini, kalau sampai waktu satu bulan kamu tidak mampu mengembalikan uang itu,
anak gadismu yang paling besar harus kau serahkan padaku”
“Maksud Ndoro? Akan diperistri
oleh Ndoro?”
“Loh, piye koe iki, Man?
Ya iya dong untuk kujadikan istriku yang ke delapan, hahahha” ndoro itu
menjawab sambil tertawa dengan muka mesum.
Parman tak setuju pada
ndoro mata keranjang itu, ia memilih untuk meninggalkan rumah dan mencoba
mencari pinjaman kepada orang lain.
Waktu menunjukkan pukul
setengah sebelas. Parman belum mendapat pinjaman uang, dalam benaknya terbayang
wajah-wajah anak dan istrinya. Parman bersemangat mengayuh sepeda untuk mencari
pinjaman. Kayuhan sepedanya berhenti di suatu rumah berpagar besi.
“Mau apa kau ke mari?”
tanya seorang perempuan pada Parman.
“Maaf, Nyonya, saya
bermaksud pinjam uang, tolong Nyonya berikan saya pinjaman uang” jawab Parman
ketakutan.
“Huh, orang-orang susah,
malam-malam mengganggu istirahat orang, demi meminjam uang, menderita sekali
hidupmu, Man?” jawab wanita itu sambil menggoyangkan kipas di tangannya. Alis
tebalnya diangkat naik turun diikuti oleh lirikan mata yang sadis menggambarkan
penghinaan. “Butuh berapa kau, Man, cepat bilang, aku malas meladeni orang
susah sepertimu berlama-lama?”
“Lima ratus ribu, Nyonya”
“Ah, segitu saja, baiklah,
aku akan pinjami kau uang, tapi kau tentu tahu siapa aku”
Parman tertunduk tak
berani menatap muka wanita itu.
“Kau dapat mengangsur uang
kembaliannya, tapi kau perlu ingat bunganya juga. Dua puluh lima persen setiap
bulan. Bagaimana?” wanita itu menjelaskan panjang lebar.
“Aduh, Nyonya, ampun,
maafkan saya, bunga itu terlalu tinggi, saya tidak mampu membayarnya setiap
bulan, Nyonya, tidak bisa kah diperingan sedikit?”
“Huh, orang kere, susah,
melarat, minta tolong bukan berterima kasih malah minta yang lain, tidak bisa,
itu sudah ketentuannya, kalau tak setuju, pergi saja dari rumahku. Kaki dekil
dan wajah ibamu hanya mengotori rumahku saja, pergi.”
Parman meninggalkan rumah
itu dengan memendam kesakitan hati atas hinaan rentenir tersebut. Ia bingung,
pasrah, berdoa di dalam hati agar Tuhan memberi jalan. Ia merasa lelah dan
memutuskan untuk pulang. Jam dua belas malam ia sampai rumah. Anak-anak dan
istrinya sudah tidur. Parman memasukkan sepeda ontelnya, pergi ke kamar mandi,
lalu merebahkan diri di kamar tidurnya. Di bawah remang lampu ia memejamkan mata.
***
Angin sepoi-sepoi membelai mesra seolah tangan Ilahi lah yang bergerak.
Dedaunan menari diterpa angin seperti anak-anak manusia yang tengah bergembira.
Jalanan masih ramai dengan kendaraan-kendaraan yang setiap hari
melaluinya.
Parman masih terlihat membajak sawah seluas
tiga hektar. Dengan bantuan traktor mesin ia terus mengerahkan segala sisa kekuatannya untuk mendorong traktor.
Parman terus melanjutkan pekerjaannya itu. Ia tahu bahwa untuk mendapatkan uang
ia harus bekerja lebih keras.
Kra. 03/11/14. NA
0 komentar:
Posting Komentar