PARMAN

Matari jam 12.15 begitu terik membakar kulit siapa pun yang berada di bawah pancaran sinarnya. Para raja jalanan terus berlalu-lalang, menyibak ramainya jalan, juga merasakan panas matari siang bolong ini. Seorang ibu setengah baya yang sedang menggendong bakul di punggungnya terlihat meringis menahan panas dan juga lelah telah menempuh jarak berkilo-kilo. Pak polisi sibuk dengan peluitnya, mencoba menertibkan jalan seperti yang telah biasa ia lakukan. Anak-anak berwajah dekil, berkulit hitam, dan memiliki rambut yang seolah tak pernah disisir itu menyanyikan berbagai macam lagu sambil memelongokan mukanya pada kaca mobil yang terbuka, berharap ada recehan yang dapat mereka bawa pulang.

Di seberang jalan raya ini, terlihat Parman sibuk dengan traktornya dari pagi tadi. Jam sudah siang begini, buruh tani ini belum juga berhenti untuk mengisi perut atau sekedar meneguk minum. Hanya satu batang rokok yang menemaninya, sesekali ia mengusap keringat pada dahi dan mengepulkan asap rokok ke udara. Panas matari yang membakar itu sudah tak dirasainya lagi, ia tahu itu adalah hal yang biasa. Suara bising kendaraan di seberang jalan itu tak dapat mengalahkan bisingnya suara traktor. Parman terus mendorong mesin pengganti kekuatan sapi pembajak sawah dengan sisa kekuatannya di usia senja. Traktor dibelokkannya ke kanan, lalu di dorong terus, lalu ke kiri lalu lurus mengikuti bentuk sawah hingga tanahnya gembur menjadi satu agar dapat ditanami benih padi. Padi yang dibutuhkan oleh manusia demi menyambung hidup. Yang setiap ada pembagian beras gratis ia selalu menjadi rebutan. Rupanya padi adalah hasil kerja manusia setengah tua seperti Parman, di setiap butir padi itu ada satu tetes keringat Parman. Keringat-keringat Parman juga untuk si padi.
Parman berhenti menraktor, sekarang mesin yang memiliki berat 217 kg itu beralih pada seorang temannya. Parman menepi ke bawah pohon, meraih botol air minum. Ia meneguk setengah botol air di dalamnya, lalu duduk. Ia mengibaskan topi yang dipakainya, menghela nafas, merasai badannya yang lelah karena membajak dari tadi pagi. Sambil merasakan kelelahan, ia memerhatikan polisi yang ada di seberang jalan itu. Lalu ia melamun, polisi itu membuatnya kembali pada kenangan saat ia muda dulu. Ketika usianya baru seperempat abad. Bayang-bayang masa lalunya kembali hadir dalam lamunan itu, betapa dahulu ia ingin menjadi seorang polisi. Parman memang gagah, badannya tegap, kuat, dan perkasa, sebuah badan yang sangat cocok untuk profesi polisi. Namun sayang, ia tak punya cukup uang untuk biaya mendaftar menjadi polisi. Sebab itulah kini ia hanya mampu menjadi seorang buruh tani, menjadi seorang yang susah. Buruh tani, menggarap sawah milik orang, namanya saja juga buruh, buruh ya buruh mana bisa jadi mandor. Buruh ya buruh, mana bisa hidup enak, naik mobil dan tak merasakan panasnya matari. Buruh ya buruh, saban hari harus memeras keringat bergelut dengan tanah sawah yang kotor, bukan lantai dari porselen.
Tiba-tiba langit sudah sore, senja mulai terlihat di ufuk barat. Kilau cahaya matari yang galak siang tadi kini berubah manis dan membuat siapa pun yang melihatnya merasa kagum.  Sebentar lagi malam akan datang. Lamunan Parman terhenti dan ia mengayuh sepeda ontel tuanya dan bergegas untuk pulang.
***
Istri Parman, Suminah, tengah berdiri di pinggir pintu menanti suaminya pulang. Melihat suaminya yang terlihat sangat lelah, Suminah pun memanggil anaknya yang paling tua agar membawa masuk sepeda ontel Parman. Sementara Suminah membawakan suaminya minum dan memberikannya pada Parman.
“Lelah, Pak?” tanya Suminah pada suaminya
“Iya, Bu. Hari ini bapak membajak tanpa henti” jawab Parman sambil melihat anaknya yang ada pada gendongan Suminah.
Mendengar keluhan itu Suminah bingung harus berbuat apa. Ia ingin mengatakan sesuatu namun takut pada suaminya dan tahu bahwa ini bukanlah saat yang tepat. Dari siang Suminah terus mencoba merangkai kalimat bagaimana untuk menyampaikan kegundahan hatinya. Ia terus berfikir dan masih berfikir. Sambil basa-basi menanyakan hal-hal yang dirasainya tak penting.
“Ayoh makan dulu, Pak, bapak pasti lapar” ajak Suminah.
“Iya, Bu, biar bapak mandi dahulu, ibu siapkan saja dulu makanannya”
Di bawah sinar bola lampu lima watt Suminah, Parman, dan empat orang anaknya menikmati hidangan dengan lahapnya. Nasi berlauk tempe goreng, rebusan daun singkong, dan sambal terasi itu terasa nikmat bagi mereka semua. Cerita lucu anak Parman yang paling kecil memecah tawa.

Selesai makan, anak-anak disuruh belajar oleh Parman, sedang ia pergi ke halaman rumah. Di bawah sinar bulan purnama, Parman menyembul asap rokok ke angkasa. Dihirupnya udara malam yang dingin itu bersamaan dengan asap rokok.
“Pak,” suara Suminah memanggil lembut suaminya.
“Iya, Bu, ada apa?” tanya Parman menjawab.
Belum sempat Suminah menjawab, Parman menanyakan Sugeng, anakknya yang paling kecil. “Sudah tidur Sugeng, Bu?”
“Sudah, Pak, baru saja” jawab Suminah.
“Ada yang mau ibu bicarakan dengan bapak”
“Apa, Bu? Bicara saja”
“Begini, Pak. Tadi siang sepulang sekolah, Ratna minta uang untuk membayar ujian besok Senin, lalu Surya juga perlu uang untuk membeli buku, belum lama setelah itu datang Roni yang juga mengadu, katanya sepatunya sudah rusak, dia malu diejek oleh kawan-kawannya. Hendi juga minta sepeda, ibu sudah janji pada dia kalau akan membelikan sepeda, Pak. Susu anak kita yang bayi juga habis, Pak” Suminah terdiam, memberhentikan kata-katanya.
“Hari ini bapak belum dapat uang, Bu, tadi hanya membajak sawah dan belum dapat bayaran”
“Kita sudah tidak punya tabungan, Pak. Uang hasil jual anting-anting ibu kemarin juga sudah habis untuk keperluan sehari-hari”
“Bapak juga tidak punya uang, Bu”
“Lalu bagaimana ini, Pak? Kalau tidak membayar ujian Ratna bisa tidak lulus nanti. Juga anak kita yang lain perlu uang, Pak”
Mereka berdua saling pandang dan diam, kepala dibiarkan berputar penuh tanya namun tak terjawab. Dalam kebingungan keduanya saling mencari cara bagaimana mendapatkan uang untuk anak-anak mereka.
“Mau kemana, Pak?” tanya Suminah yang melihat suaminya berdiri dari kursi.
“Coba bapak cari pinjaman, Bu”
“Mau pinjam ke mana lagi, Pak” sela Suminah “uang yang kemarin kita pinjam dari orang-orang belum dapat kita kembalikan kok mau pinjam lagi Pak, memangnya ada yang mau pinjami kita uang?”
“Iya, bapak coba dulu, Bu, siapa tahu ada yang berbaik hati”
“Duh, Pak. Ibu malu kalau ketemu ibu-ibu yang lain, setiap ke warung pasti disindir, hati ibu tak enak jadinya, Pak”
“Bu, keadaan kita memang tidak punya, mau bagaimana lagi? Sudah, ibu tenang saja, berdoa, semoga kita dapat pinjaman, bapak berangkat dulu”
***
Parman mengayuh sepeda, belum hilang rasa lelahnya karena seharian membajak sawah kini ia harus bersusah payah mengayuh sepeda mencari pinjaman uang unuk keperluan anak-anaknya. Sepuluh deret rumah penduduk ia lewati, sesampainya di perempatan ia berbelok ke kiri. Ia akan menuju ke rumah Pak RT, dalam hati ia terus berdoa agar kali ini Pak RT akan meminjami uang. Parman telah sampai pada rumah Pak RT, rumah bercat kuning itu terlihat sepi namun pintunya terbuka seolah menyambut kedatangannya. Parman memasuki pekarangan rumah Pak RT, turun dari sepeda lalu menyandarkan sepedanya di bawah pohon bambu. Parman memberanikan diri mengetuk pintu. Setelah tiga kali ia ucapkan salam, keluarlah seorang perempuan dari dalam rumah.
“Maaf, Pak RT ada, Bu?” tanya Parman pada Bu RT.
“Eh, ada Pak Parman, mari masuk, sebentar saya panggilkan bapak dulu, monggo”
Parman masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi berwarna hijau. Hatinya terus berdoa, berharap Pak RT mau membantunya. Selang beberapa menit Pak RT keluar dengan mengenakan kemeja dan sarung. Kelihatannya ia habis sembahyang, pikir Parman.
“Ada keperluan apa Parman ke mari?” tanya Pak RT ramah.
“Anu, Pak, begini, saya ini sedang dalam kesulitan, saya ingin minta pertolongan pada Pak RT”
“Apa yang dapat saya bantu, Man?”
“Anak saya yang paling besar perlu uang untuk membayar ujian, lalu yang masih SMP harus membeli buku, sedang yang SD mengeluh sepatunya sudah jelek, Pak, ia malu diejek temannya terus, anak yang masih bayi juga perlu..........
Pak RT memperhatikan dengan sungguh-sungguh, lalu mendehem. Belum selesai ia menceritakan keadaannya Pak RT memberikan tanggapan.
“Man, maaf saya tidak bisa membantu, perekonomian kami sedang sulit setelah Bu RT operasi kemarin”
Parman keluar dari rumah Pak RT lalu melanjutkan usahanya ke rumah Sobri, orang paling kaya di desa. Sawahnya sepuluh hektar dan dia juga memilki perkebunan di Karanganyar. Parman berharap ia dapat memeroleh pinjaman darinya. Parman mendatangi rumah Sobri dan ia dipersilahkan masuk oleh istri Sobri. Tiga puluh menit menunggu akhirya Sobri bertemu parman di ruang tamu.
“Mau pinjam berapa, Man?” tanya Sobri pada Parman.
“Bagaimana Ndoro juragan bisa tahu kalau kedatangan saya adalah untuk meminjam uang?”
“Ah, itu bukan hal yang sulit bagi saya, selama ini yang datang ke rumah saya kalau bukan rekan kerja ya orang-orang kere seperti kamu ini, Man”
Parman terkaget mendengar perkataan itu, cepat-cepat ia menjawab pertanyaan juragan tersebut. “Anu, Ndoro, saya benar-benar butuh uang, anak saya yang paling besar mau ujian, yang SMP butuh perlu buku, lalu....”
“Mau pinjam berapa, Man? To the point saja jangan bertele-tele, saya mau menikmati waktu bersama istri-istri saya, jangan menghambat keinginan saya itu, cepat katakan kau butuh berapa.”
“Lima ratus ribu, Ndoro”
Juragan itu lalu mengeluarkan sebuah dompet dari sakunya, ia membuka dompet dan melemparkan uang ke meja. Parman mengambil uang tersebut. Tapi tiba-tiba juragan juga memegang uang tersebut bersamaan dengan Parman.
“Eits.... enak sekali kau langsung ambil uang itu, tentu ada syaratnya, Man”
“Syarat? Syarat apa, Ndoro?” tanya Parman ketakutan.
“Hemm” ndoro itu mendehem “begini, kalau sampai waktu satu bulan kamu tidak mampu mengembalikan uang itu, anak gadismu yang paling besar harus kau serahkan padaku”
“Maksud Ndoro? Akan diperistri oleh Ndoro?”
“Loh, piye koe iki, Man? Ya iya dong untuk kujadikan istriku yang ke delapan, hahahha” ndoro itu menjawab sambil tertawa dengan muka mesum.
Parman tak setuju pada ndoro mata keranjang itu, ia memilih untuk meninggalkan rumah dan mencoba mencari pinjaman kepada orang lain. 
Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas. Parman belum mendapat pinjaman uang, dalam benaknya terbayang wajah-wajah anak dan istrinya. Parman bersemangat mengayuh sepeda untuk mencari pinjaman. Kayuhan sepedanya berhenti di suatu rumah berpagar besi.
“Mau apa kau ke mari?” tanya seorang perempuan pada Parman.
“Maaf, Nyonya, saya bermaksud pinjam uang, tolong Nyonya berikan saya pinjaman uang” jawab Parman ketakutan.
“Huh, orang-orang susah, malam-malam mengganggu istirahat orang, demi meminjam uang, menderita sekali hidupmu, Man?” jawab wanita itu sambil menggoyangkan kipas di tangannya. Alis tebalnya diangkat naik turun diikuti oleh lirikan mata yang sadis menggambarkan penghinaan. “Butuh berapa kau, Man, cepat bilang, aku malas meladeni orang susah sepertimu berlama-lama?”
“Lima ratus ribu, Nyonya”
“Ah, segitu saja, baiklah, aku akan pinjami kau uang, tapi kau tentu tahu siapa aku”
Parman tertunduk tak berani menatap muka wanita itu.
“Kau dapat mengangsur uang kembaliannya, tapi kau perlu ingat bunganya juga. Dua puluh lima persen setiap bulan. Bagaimana?” wanita itu menjelaskan panjang lebar.
“Aduh, Nyonya, ampun, maafkan saya, bunga itu terlalu tinggi, saya tidak mampu membayarnya setiap bulan, Nyonya, tidak bisa kah diperingan sedikit?”
“Huh, orang kere, susah, melarat, minta tolong bukan berterima kasih malah minta yang lain, tidak bisa, itu sudah ketentuannya, kalau tak setuju, pergi saja dari rumahku. Kaki dekil dan wajah ibamu hanya mengotori rumahku saja, pergi.”
Parman meninggalkan rumah itu dengan memendam kesakitan hati atas hinaan rentenir tersebut. Ia bingung, pasrah, berdoa di dalam hati agar Tuhan memberi jalan. Ia merasa lelah dan memutuskan untuk pulang. Jam dua belas malam ia sampai rumah. Anak-anak dan istrinya sudah tidur. Parman memasukkan sepeda ontelnya, pergi ke kamar mandi, lalu merebahkan diri di kamar tidurnya. Di bawah remang lampu ia memejamkan mata.   
  ***
Angin sepoi-sepoi membelai mesra seolah tangan Ilahi lah yang bergerak. Dedaunan menari diterpa angin seperti anak-anak manusia yang tengah bergembira. Jalanan masih ramai dengan kendaraan-kendaraan yang setiap hari melaluinya. 
Parman masih terlihat membajak sawah seluas tiga hektar. Dengan bantuan traktor mesin ia terus mengerahkan segala sisa kekuatannya untuk mendorong traktor. Parman terus melanjutkan pekerjaannya itu. Ia tahu bahwa untuk mendapatkan uang ia harus bekerja lebih keras.

Kra. 03/11/14. NA

0 komentar:

Posting Komentar

Niken Ayu. Diberdayakan oleh Blogger.