Saksi Mata Itu Datang Tanpa Mata

Yang kesepian boleh mampir. Ketika membaca kamu akan tertawa, setelah membaca kamu akan gelengkan kepala, dan jika sudah membaca bukunya kamu akan tau rahasia.
Sebuah cerita pendek lucu + simple + tapi mengandung pesan sosial. Ditulis berdasarkan sejarah, yang akan dapat dipahami jika telah membaca buku Trilogi Insiden hingga habis.
Kalimat pertamanya menarik menggoda untuk membaca sampai tamat. Baca saja cerita pendek yang satu ini.......
Saksi mata itu datang tanpa mata.
Ia berjalan tertatih-tatih ditengah ruang pengadilan dengan tangan meraba-raba udara.
Dari lubang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus menerus dari lubang mata itu.

Darah membasahi pipinya, membasahi bajunya, membasahi celananya, membasahi sepatunya, dan mengalir perlahan-lahan di lantai ruang sidang pengadilan yang sebetulnya sudah dipel bersih-bersih dengan karbol yang tercium oleh para pengunjung yang kini menjadi gempar dan berteriak-teriak dengan emosi meluap-luap, sementara para wartawan yang selalu menanggapi peristiwa menggemparkan dengan penuh gairah segera memotret saksi mata itu dari segala sudut sampai menungging-nungging sehingga lampu kilat yang berkeredap membuat suasana makin panas.
�Terlalu!�
�Edan!�
�Sadis!�
Bapak Hakim yang Mulia, yang segera tersadar, mengetuk-ngetukkan palunya. Dengan sisa wibawa yang masih ada, ia mencoba menenangkan keadaan.
�Tenang Saudara-Saudara! Tenang! Siapa yang mengganggu jalannya persidangan akan saya usir keluar ruangan!�
Syukurlah para hadirin bisa ditenangkan. Mereka juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
�Saudara Saksi Mata.�
�Saya, Pak.�
�Dimana mata Saudara?�
�Diambil orang, Pak�
�Diambil?�
�Saya, Pak�
�Maksudnya dioperasi?�
�Bukan, Pak. Diambil pakai sendok.�
�Haa? Pakai sendok? Kenapa?�
�Saya tidak tahu kenapa, Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng�
�Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang?�
�Yang mengambil mata saya, Pak�
�Tentu saja, Bego! Maksud saya siapa yang mengambil mata Saudara pakai sendok?�
�Dia tidak bilang namanya, Pak.�
�Saudara tidak nanya, Bego?�
�Tidak, Pak.�
�Dengar baik-baik, Bego, maksud saya seperti apa rupa orang itu? Sebelum mata Saudara diambil dengan sendok yang katanya mau dibuat tengkleng atau campuran sop kambing barangkali, mata saudara masih ada ditempatnya kan?�
�Saya, Pak.�
�Jadi, Saudara melihat seperti apa orangnya, kan?�
�Saya, Pak.�
�Coba ceritakan apa yang dilihat mata Saudara yang sekarang mungkin sudah dimakan para penggemar tengkleng itu�
Saksi Mata itu diam sejenak. Segenap pengunjung diruang sidang pengadilan menahan napas.
�Ada beberapa orang, Pak.�
�Berapa?�
�Lima, Pak.�
�Seperti apa mereka?�
�Saya tidak sempat meneliti, Pak, habis mata saya keburu diambil, sih.�
�Masih ingat pakainnya barangkali?�
�Yang jelas mereka berseragam, Pak.�
Ruang pengadilan jadi riuh kembali. Seperti dengungan seribu lebah.
***
Hakim mengetuk-ngetukkan palunya, suara lebah menghilang.
�Seragam tentara maksudnya?�
�Bukan, Pak.�
�Polisi?�
�Bukan juga, Pak.�
�Hansip, barangkali?�
�Itu lho, yang hitam-hitam seperti di film.�
�Mukanya ditutupi?�
�Iya, Pak, Cuma kelihatan matanya.�
�aah, saya tahu, Ninja, kan?�
�Nah, itu Pak, mereka itulah yang mengambil mata saya dengan sendok!�
Lagi-lagi hadirin ribut dan saling bergunjing seperti di warung kopi. Lagi-lagi bapak Hakim yang Mulia mesti mengetuk-ngetukkan palu supaya orang banyak itu menjadi tenang.
Darah masih menetes perlahan-lahan, tapi terus menerus dari lubang hitam bekas mata Saksi Mata yang berdiri seperti patung di ruang pengadilan. Darah mengalir diruang pengadilan yang sudah dipel dengan karbol. Darah mengalir memenuhi ruang pengadilan sampai luber melewati pintu menuruni tangga sampai ke halaman.
Tapi, orang-orang tidak melihatnya.
�Saudara Saksi Mata�
�Saya, Pak.�
�Ngomong-ngomong, kenapa Saudara diam saja ketika mata Saudara diambil dengan sendok?�
�Mereka berlima, Pak.�
�Saudara kan bisa teriak-teriak atau melempar barang apa saja didekat saudara atau ngapain kek supaya tetangga mendengar dan menolong Saudara, kan di gang kumuh, orang berbisik di sebelah rumah saja kedengeran, tapi kenapa Saudara diam saja?�
�Habis, terjadinya didalam mimpi sih Pak�
Orang-orang tertawa. Hakim mengetuk lagi dengan marah.
�Coba tenang sedikit, ini ruang sidang pengadilan, bukan Srimulat!�
***
Ruang pengadilan itu terasa sumpek. Orang-orang berkeringat, namun mereka tak mau beranjak. Darah dihalaman mengalir sampai ke tempat parkir. Hakim meneruskan pertanyaannya.
�Saudara Saksi Mata tadi mengatakan terjadi di dalam mimpi. Apakah maksud Saudara kejadiannya begitu cepat seperti dalam mimpi?�
�Bukan Pak, bukan seperti mimpi, tapi memang terjadinya dalam mimpi, itu sebabnya saya diam saja ketika mereka mau menyendok mata saya.�
�Saudara serius? Jangan main-main ya, nanti Saudara harus mengucapkannya dibawah sumpah�
�Sungguh mati saya serius, Pak, saya diam saja karena saya pikir toh terjadinya cuma dalam mimpi. Saya malah ketawa-ketawa, Pak, waktu mereka bilang mau dibikin tengkleng.�
�Jadi menurut Saksi Mata, segenap pengambilan mata itu hanya terjadi dalam mimpi?�
�Bukan hanya menurut saya, Pak, memang terjadinya di dalam mimpi�
�Saudara, kan , bisa saja gila�
�Lho, ini bisa dibuktikan, Pak, banyak saksi yang tahu kalau sepanjang malam saya cuma tidur, Pak, dan semala saya tidur tidak ada orang yang mengganggu saya, Pak�
�Jadi, terjadinya pasti di dalam mimpi ya?�
�Saya, Pak�
�Tapi, waktu terbangun mata Saudara sudah tidak ada?�
�Betul, Pak, itu yang saya bingung. Kejadiannya di dalam mimpi tapi begitu bangun kok ternyata betul-betul ya?�
Hakim menggeleng-gelengkan kepala tidak bisa mengerti.
�Absurd�, gumamnya.
Darah yang mengalir telah sampai ke jalan raya.
***
Apakah Saksi Mata yang sudah tidak punya mata lagi masih bisa bersaksi? Tentu saja bisa, pikir Bapak Hakim yang Mulia, bukankah ingatannya tidak ikut terbawa oleh matanya?
�Saudara Saksi Mata�
�Saya, Pak�
�Apakah saudara masih bisa bersaksi?�
�Saya siap, Pak. Itu sebabnya saya datang ke pengadilan terlebih dahulu ketimbang ke dokter mata, Pak.
�Saudara Saksi Mata masih ingat semua kejadian itu meski sudah tidak bermata lagi?      
�Saya, Pak�
�Saudara masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?�
�Saya, Pak�
�Saudara masih ingat bagaimana mereka menembak dengan serabutan dan orang-orang tumbang seperti pohon pisang ditebang?�
�Saya, Pak�
�Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang dan mereka masih setengah mati ditusuk dengan pisau sampai mati?�
�Saya, Pak�
�Ingatlah semua itu baik-baik karena meskipun banyak Saksi Mata, tidak ada satupun yang bersedia menjadi saksi di pengadilan kecuali Saudara�
�Saya, Pak�
�Sekali lagi, apakah Saudara Saksi Mata masih bersedia menjadi saksi?�
�Saya,Pak�
�Kenapa?�
�Demi keadlian dan kebenaran, Pak�
Ruang pengadilan jadi gemuruh. Semua orang bertepuk tangan termasuk Jaksa dan Pembela. Banyak yang bersorak-sorak. Beberapa orang mulai meneriakkan yel.
Bapak Hakim yang mulia segera mengetukkan palu wasiatnya.
�Huss, jangan kampanye disini!� ia berkata dengan tegas.
�Sidang hari ini ditunda, dimulai lagi besok untuk mendengar kesaksian Saudara Saksi Mata yang sudah tidak punya mata lagi!�
Dengan sisa semangat sekali lagi ia ketukan palu, namun palu itu patah. Orang-orang tertawa. Para wartawan yang terpaksa menulis berita kecil karena tidak kuasa menulis berita besar, cepat-cepat memotretnya. Klik-klik-klik-klik! Bapak Hakim yang Mulia diabadikan sedang memegang palu yang patah.
***
Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakim yang mulia berkata pada sopirnya.
�Bayangkan betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban lebih besar lagi?�
Sopir itu ingin menjawab dengan sesuatu yang menghilangkan rasa bersalah semacam kalimat �Keadilan tidak buta�. Namun bapak hakim yang mulia malah tertidur dalam kemacetan jalan yang menjengkelkan.
Darah masih mengalir perlahan-lahan tapi terus-menerus sepanjang jalan raya sampai kota itu banjir darah. Darah membasahi segenap pelosok kota, bahkan  merayapi gedung-gedung beringkat sampai tiada lagi tempat yang tidak menjadi merah karena darah. Namun ajaib, tiada seorangpun melihatnya.
Ketika hari sudah menjadi malam, Saksi Mata yang sudah tidak punya mata itu berdoa sebelum tidur. Ia berdioa agar kehidupan di dunia yang fana ini baik-baik saja agar segala sesuatu berjalan dengan mulus dan semua orang berbahagia.
Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam ninja mencabut lidahnya-kali ini menggunakan catut.
oleh Seno Gumira Ajidarma dalam Trilogi Insiden. Saksi Mata.

3 komentar:

Niken Ayu. Diberdayakan oleh Blogger.