Hari itu Kamis, 21 Agustus 2014, aku yang sedang bersosial media di sekre tiba-tiba diajak oleh salah seorang temanku untuk pergi ke Gunung Api Purba, Gunung Kidul. Tujuan kami ke sana adalah untuk liputan rubrik destinasi Majalah Kentingan. Dengan perundingan yang alot dan menimbang berbagai hal aku pun memutuskan untuk ikut juga, mengingat memang aku sejak lama ingin naik gunung sekaligus liburan untuk mengisi waktu senggang.
Jumat, pukul 08.00, sepuluh manusia diantaranya aku, Adi, Danur, Naim, Han (tu), Wiwin, Henri, Inang, Nafi, dan Nadia, berkumpul di sekre sementara Udji dan Cahya menanti di Prambanan. Alhasil karena jam karet yang memang sudah menjadi budaya kami akhirnya berangkat pukul 09.30. Kami menempuh perjalanan selama dua setengah jam dengan berkali-kali berhenti untuk membeli gas dan menunggu teman yang hilang ketinggalan. Ketika aku dan beberapa teman salah jalan, rombongan Han menunggu di jembatan persimpangan antara Wonosari dan Gunung Purba. Rombonganku bertanya pada mas-mas yang ada di sana, setelah mendapat jawaban kami pun mengikuti aba-aba yang diintruksikan oleh mas-mas tadi. Sungguh membingungkan, kami tidak bertemu dengan rombongan Han, tiba-tiba handphone-ku berkelip, ada telepon dari Nafi. Setelah mengobrol rupanya kelompok Han masih menunggu di jembatan tadi. Jadi kesimpulannnya mereka menunggu rombonganku tapi yang ditunggu malah pergi lebih dulu, hahaha.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30, waktunya bagi kaum laki-laki untuk menunaikan ibadah sholat Jumat, kami mencari mushola dan sholat di sana. Setelah menunaikan ibadah, kami menuju kesekretariatan wisata gunung purba, di mana tim reporter kami yaitu Udji, Nafi, dan Wiwin akan mengorek informasi seputar gunung tersebut dengan segala mitosnya. Sisa dari pasukan menunggu di luar, sambil menunggu beberapa manusia yang narsis berpose di depan tulisan selamat datang.
Wawancara selesai, kami memutuskan untuk ke Embung, sebuah bagian dari wisata Gunung Api Purba untuk menikmati sunset. Perjalanan ke Embung sungguh berat bagi sepeda motor karena jalannya masih berupa batu. Kami harus berhati-hati untuk melintasinya. Perjalanan ini memakan waktu sekitar lima belas menit dari kantor sekretariat. Ketika sampai di Embung, gunung berupa batu menyambut mata. Sungguh indah, hanya itu kata yang tepat untuk menggambarkannya. Tak ingin melewatkan pemandangan ini, aku meraih kamera poket untuk mengabadikannya. Coba-coba mode panorama dan ternyata hasilnya mengagumkan.
Setelah bosan di bawah, kami naik ke atas untuk melihat telaga buatan yang ada di Embung. Wah, menakjubkan. Di atas ini kami dapat melihat pemandangan lepas tanpa batas. Tak ada kata yang tepat untuk mengungkapkannya selain indah. Aku mencoba untuk berkeliling kolam ini, mencoba berbagai angle dalam memotret. Daaaaaan, menyenangkan. “Kyaaaaaa, I get something”, teriakku. Naim bertanya, “Apa, Mbak?” “Nice pic” aku pun memperlihatkan foto itu, mereka suka begitu juga aku. Katanya, foto ini mau digunakan ituk foto majalah, hehehe... Ya monggo.
Matahari sudah hampir tenggelam, kami tidak bisa menikmati sunset karena harus segera naik ke puncak gungung sebelum gelap. Kami kembali ke sekretariatan, membayar uang retribusi sebesar Rp 8.000 per kepala. Akhirnya naik juga, selangkah demi selangkah kami mendaki gunung yang memiliki ketinggian 700 meter itu. Batu besar di sana sini, menakutkan untukku, aku takut jika tiba-tiba batu itu menjatuhi kepalaku, tapi kubuang pikiran itu dan terus berdoa agar tak ada kejadian apa-apa. Beban di pundakku sangat berat, membuat langkah tak selincah jika tak membawa beban. Kurasai pegal di kaki. Sesampainya di pos satu kami berhenti. Sejenak melepas lelah dan memulihkan energi. Waktu menunjukkan pukul 17.30 masih ada sedikit cahaya untuk memotret diri berlatar belakang pegunungan. Angin kencang membuat Udji tidak berani berdiri di atas gunung, takut terbang katanya. Setelah perut terisi dengan sedikit makanan, lelah terobati, kami melanjutkan langkah menuju puncak. Hari semakin gelap, penglihatan harus dibantu dengan senter. Cahya, Wiwin, dan Inang sudah terpisah jauh dari rombongan. Aku dan sisanya terus melanjutkan perjalanan yang tersisa. Sempat membingungkan ketika berada di dua jalan tanpa papan penunjuk arah, maka kami pun memilih langkah ke kanan. Untung saja tak keliru keputusan ini. Selama pendakian kami terus bersama dan memperhatikan kawan yang lain. Hal yang sangat diperlukan di saat yang seperti ini. Kebersamaan dan tak boleh ada yang saling meninggalkan. Hati menjadi lega ketika bertemu dengan rombongan lain, aku bertanya apakah puncak masih jauh? Mereka menjawab sudah dekat, sekitar lima menit lagi. Aaahhhh..... Lega.
Kami dapat bertemu dengan Cahya, Wiwin, dan Inang. Setelah beristirahat sebentar, kami berjalan menuju camping zone yang tidak jauh lagi. Akhirnya sampai juga. Gemerlap lampu kota Jogja menyambut mata yang berbalut lelah. Di atas gunung ini kami dapat menikmati warna-warni lampu yang mempercantik pemandangan. Tak terlalu lama beristirahat, kami membangun tenda untuk beristirahat. Sangat lama dan susah payah kami membangunnya, sekitar satu setengah jam baru tenda dapat didirikan. Mungkin memang kami kurang pengalaman maka tenda tak juga berdiri. Akan tetapi segala itu dapat teratasi dengan saling bekerja sama demi kepentingan bersama. Di sinilah kekompakan itu diperlukan, di sinilah kebersamaan itu dibangun.
Setelah tenda berdiri, teman-teman mengeluh lapar dan ingin membuat kopi. Hahaha..
Aku pun memasakkan mie instan dan membuatkan kopi untuk mereka. Dengan dibantu Cahya, Danur, dan Nadia, dua mangkuk mie instan dan semangkuk kopi siap disantap. Aku tak turut makan mie instan tersebut ataupun menyeduh kopi karenan memang sedang diet mie instan. Maka aku lebih memilih makan roti dan minum energen saja. Setelah selesai semua, aku menyusul Danur, Inang, dan Adi yang ada di beranda gunung. Melihat manisnya lampu Jogja dari puncak. Pemandangan yang menenangkan hati. Jauh dari kebisingan, polusi knalpot tapi tidak polusi rokok, jauh dari sesaknya kota, sangat mendamaikan hati namun tidak mendamaikan pikiran.
Angin menusuk kulit dan semakin malam semakin dingin yang kurasakan. Tapi aku masih ingin duduk di sana, maka kuambil jaket untuk melindungi kulit dari seragan angin malam yang ganas. Memperbincangkan bermacam-macam hal dengan suasana seperti itu. Telah lama aku menginginkannya dan baru terpenuhi kemarin malam. Mendengar obrolan teman-teman di tenda yang memperdebatkan sholat isya, aku pun beranjak menghampiri mereka, akan ikut sholat juga. Karena tak ada air untuk berwudhu, kami pun tayamum. Ini adalah yang pertama kali dalam hidupku, aku bertayamum.
Hari masih sore, waktu masih menunjukkan pukul 22.00, sagat sayang jika harus beranjak tidur, namun tidak dengan Wiwin dan Danur, mereka sudah sampai di alam mimpi masing-masing ketika yang lain sedang sibuk meperdebatkan tayamum satu atau dua kali.
Kami mengobrol ngalor ngidul sambil menikmatti langit yang jarang bintang. Sayang langit tak sedang indah, bulan yang sabit pun tak memperlihatkan pesonannya. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 00.00 satu persatu dari kami masuk tenda. Begitu juga aku, sadar bahwa aku harus istirahat agar keesokan hari tak loyo, maka aku masuk tenda dan mencoba tidur. Dengan bersumpek-sumpekan, aku memaksa mataku untuk terpejam dan pikiranku untuk berhenti. Doa-doa kupanjatkan namun semua tidak berhasil membuatku tidur. Kurasai tidurku tak nyenyak. Subuh pun tiba, setelah sholat subuh, kami menuju puncak untuk melihat sunrise. Ah, sangat mengecewakan, matahari pagi itu tak muncul karena tertutup awan. Setelah mengambil beberapa foto kami kembali ke bawah untuk sarapan.
Tenda telah selesai dibongkar, kami sudah selesai berkemas, maka kami bergegas untuk turun dari gunung ini. Masih diwarnai candaan, kami menggodai Wiwin dan Inang yang sejak naik hingga diatas dan turun terus berduaan saja. Segalanya hanya berjuan untuk menghibur diri saja.
Kami sudah sampai di bawah, masing-masing membersihkan diri dan melanjutkan wawancara. Karena ada dua narasumber yang akan kami temui maka kami memutuskan untuk memecah rombongan menjadi dua. Rombongan Han (tu) ke perangkat desa sedang Udji ke rumah dengan tujuh kepala keluarga.
Aku ikut rombongan Udji, penasaran pada bentuk, suasana, hingga apa saja yang ada di dukuh yang terbilang unik ini. Ketika sampai di perempatan kami direpotkan dengan kebimbangan akan memilih jalur yang mana, karena dalam papan penunjuk arah tidak ada petunjuk menuju dukuh tersebut. Setelah menemui orang kami mengendarai motor menuju kampung itu. Jalan sangat ekstrem. Bukan aspal melainkan bebatuan yang keras dan menanjak ke atas. Motor Cahya tak kuat naik maka Udji harus turun dan lari untuk menuju kampung tersebut, sementara Inang motornya keluar asap. Tapi untung ini bukan kecelakaan yang gawat. Setelah bertanya pada satu orang yang kami temui di sana, kemantapan hati kami untuk menuju kampung itu semakin kuat. Kami pun menemui salah seorang penghuni rumah yang ada di sana. Namun sayang ia tak mau memberikan keterangan terkait mitos yang ada pada kampung tersebut karena menganggap dirinya tak memiliki hak untuk hal tersebut. Maka ia mengantarkan kami pada kakaknya yang dianggap memiliki wewenang memberikan keterangan. Kami mengobrol dengan bahsaa Jawa, aku yang tak terlalu paham pada bahasaku ini memilih menyimak saja. Dari hasil simakanku itu, dapat diperoleh informasi bahwa memang benar kampung ini hanya bisa dihuni oleh tujuh kepala keluarga saja, jika lebih harus dikurangi dan jika kurang harus ditambah agar jumlanhya tujuh. Jika ketetapan ini dilanggar atau dalam artian ada satu keluarga (ke delapan) yang ngotot maka kesengsaraan akan menimpai dirnya. Kesengsaraan tersebut dapat berupa kematian. Akan tetapi lebih lanjut dijelaskan bahwa jika ada orang yang tinggal di kampung tersebut terlepas dari tujuh kepala keluarga, maka mereka hanya dianggap menumpang. Tidak tercatat dalam buku pemerintahan dan jika ada perlu apa-apa juga tidak dapat diurus. Suasana pekampungan ini sangat sepi, tak ada banyak orang yang dapat kami temui. Jarak dari rumah ke rumah pun jauh, tidak berhadap-hadapan. Pepohonan dan gunung batu adalah pemandangan yang sering dijumpai.
Selesai wawancara kami memutuskan untuk pulang, setelah sholat duhur kami kembali ke Solo. Aku mimiliki agenda lain yaitu nonton konser band kesayangan sheila on 7 harus cepat pulang ke Solo. Adi memacu kendaraannya kencang, ia tahu bahwa aku harus segera sampai di Solo untuk mengurus teman sheilagank solo pandawa lima.
Jam 16.00 kami tiba kembali di Solo, sebuah perjalanan yang asyik dan menyenangkan. Lelah adalah kewajiban. Namun pengalaman dan cerita adalah imbalan dari itu semua. Terima kasih. ^_^
Bener kak kayak di film apa ya "mendaki itu susah tapi pemandangannya indah" meskipun harus bawa perlengkapan seransel besar yang entah berapa kg beratnya, kebayar sama PUNCAK :)
BalasHapushaha, ya itulah sensasi tersendiri dari mendaki gunung. :)
BalasHapuskm sudah pernah kemana saja?