Pada
hampir semua surat kabar, kita membaca bahwa Senin (9/9) terjadi aksi mogok
produksi yang dilakukan oleh produsen tempe di beberapa kota besar di indonesia
seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Magelang, Bengkulu, Kendal, dan
Sukoharjo. Aksi mogok ini merupakan bentuk protes mereka kepada pemerintah
terkait naiknya harga bahan baku kedelai.
Naiknya
harga kedelai ini dipicu oleh depresiasi nilai tukar rupiah sehingga memicu
kenaikan harga kedelai di pasar internasional. Kebijakan pemerintah Amerika
Serikat untuk menaikan suku bunga The Fed pada awal September ini memicu
penarikan dolar di pasar keuangan sehingga terjadi krisis kelangkaan dolar.
Banyak investor yang lebih tertarik untuk menanam uang mereka di pasar Amerika
Serikat daripada di luar negeri seperti Indonesia. Akibat pertama dalam hal ini
adalah naiknya nilai dolar dan terdepresiasi nilai tukar rupiah. Uang rupiah
yang biasanya cukup untuk membeli kedelai sebagai bahan baku tempe (dan tahu)
tiba-tiba harus dibayar jauh lebih mahal dari harga biasa. Ekonomi politik internasional
begitu berpengaruh terhadap harga kedelai.
Hal ini
juga menunjukkan bahwa selama ini Indonesia yang terkenal dengan sebutan negara
agraris rupanya memperoleh kedelai dari luar negeri seperti Amerika, China,
Ukraina, Kanada dan Malaysia. Sebanyak 75% pasokan kedelai diperoleh dari
negara tersebut. Ini artinya Indonesia menjadi negara ketergantungan kedelai
pada negara asing. Maka, tiap kali terjadi gejolak harga mata uang, tiap kali
Indonesia akan bermasalah dengan pasokan kedelai.
Produksi
kedelai dari dalam negeri belum bisa menutupi kebutuhan kedelai Indonesia.
Minimnya pemasokan kedelai lokal diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama
kualitas kedelai dalam negeri kalah dengan kualitas kedelai impor. Padahal para
konsumen sudah terbiasa dengan kualitas tempe yang bermutu tapi bukan dari
hasil dalam negeri. Maka produsen tempe tentu lebih memilih kedelai kualitas
tinggi yang tentunya lebih digemari oleh konsumen dan secara langsung
menguntungkan bagi mereka.
Kedua,
petani kedelai Indonesia tdak berupaya keras untuk menjadikan kedelai untuk
memperoleh keuntungan. selama ini kedelai hanya dianggap sebagai tanaman sela
dan mereka menanam kedelai hanya untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah.
Maka produksi kedelai tidak mungkin bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Swasembada kedelai adalah hal mustahil, sampai saat ini.
Ketiga,
adanya guremisasi petani. Guremisasi petani adalah beralih fungsinya lahan
pertanian ke kegiatan lain seperti perkebunan, pembangunan, perumahan, dan
industri. Setidaknya sekitar 100 hektar lahan pertanian beralih fungsi ke
kegiatan lain. Hal ini jelas mengakibatkan pemasokan pangan menurun, seperti
yang terlihat pada produksi kedelai. Secara sederhana bagaimana mungkin akan
menghasilkan produk jika lahannya saja semakin berkurang tiap tahun bahkan
tidak ada.
Keempat,
minimnya perhatian serius dari pemerintah untuk mensejahterakan petani. Kita
tidak memiliki politik pangan yang jelas, kuat, dan integratif. Memang telah
ada peraturan UU No. 41 yang mengamanahkan agar setiap daerah (Kabupaten/Kota) harus
menyediakan lahan pertanian tanaman pangan dan lahan
cadangan untuk budidaya tanaman pangan. Namun implementasi dari peraturan tersebut masih minim.
Hanya menjadi macan kertas. Jika saja pemerintah mau berupaya lebih serius
memperhatikan lahan pertanian yang semakin tergerus, semisal menyewa lahan
pertanian milik warga untuk di tanami kedelai, lalu mereka yang menggarap sawah
tersebut diberikan upah, maka upaya ini dapat menagtisipasi dampak dari krisis
pangan.
Di sini
kita bisa melihat dampak globalisasi sebagai terbukanya kesempatan bagi suatu
negara untuk berinfestasi di negara lain. Negara tidak cukup kuat untuk
mengontrol pasar. Globalisasi menguntungkan pihak yang memiliki modal besar
untuk berinvestasi di suatu negara dan merugikan pihak yang kecil. Pemogokan
produsen tempe adalah akibat globalisasi. Tentu saja para pelakunya bukan hanya
investor luar negeri yang memiliki dolar banyak. Tapi juga para importir
kedelai.
Dalam
kasus naiknya harga kedelai jelas para importir dan distributorlah yang di
untungkan. Karena jelas, mereka meraup untung yang besar karena harga kedelai
yang sedang melonjak dan mereka mendapatkan kesempatan untuk mengimpor lebih
banyak lagi. Hal ini diperparah lagi dengan kebijakan pemerintah yang
menghapuskan biaya pajak untuk kedelai impor guna menanggapi mogoknya para
produsen tempe di beberapa wilayah. Berita yang sedang berkembang adalah di
tahun 2015 nanti akan dibukanya pasar bebas, dimana tidak adanya batas
negara-negara untuk bekerjasama dengan negara lain dalam segala bidang. Dalam
hal ini berarti semua warga berhak melakukan kerja sama dengan asing tanpa ada
batas seperti bea impor yang menghalangi.
Kondisi
ini menguntungkan negara maju karena SDA dan SDM mereka kuat dan tentu mampu
bersaing dengan negara berkembang seperti Indonesia. Sementara negara yang
kecil sulit untuk dapat bertarung dengan mereka. Negara yang memiliki SDM yang
kuat dan berkualitas akan memegang kendali. Di sini kita harus melihat kualitas
SDM petani Indonesia dan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah terhadap
dampak globalisasi ini.
Sebagai
negara agraris, pertama, seharusnya Indonesia memperkuat kondsisi pangan dalam
negeri dan justru dapat mengekspor bahan pangan untuk negara lain yang
kekurangan. Keadaan ini tentu perlu kerjasama dengan semua pihak, yaitu satu
petani, para petani harus mulai untuk mau menanam kedelai sebagai penghasilan
yang menguntungkan, mereka tidak lagi menganggap tanaman ini hanya sebagai
selingan saja. Petani juga harus mengutamakan kualitas, menanam benih yang
berkualitas disertai pengelolaan yang baik dan benar.
Kedua,
para terpelajar yaitu mereka yeng telah menyandang gelar sebagai sarjana
pertanian harus berperan dalam masyarakat secara nyata, bukan hanya duduk di
depan komputer. Ilmu-ilmu yang telah mereka dapatkan di perkuliahan haruslah
diterapkan di lapangan, mereka yang mengetahui tentang ilmu tanaman, tanah,
hama dan sebagainya mestinya. Mereka seharusnya tidak hanya puas duduk di
intansi pemerintahan, bekerja seadanya dan menerima gaji. Mereka juga harus
memikirkan upaya untuk mensejahterakah pertanian negara.
Ketiga,
pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus mampu mengayomi para petani dan
mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan mereka atau terus melakukan kegiatan serta
upaya yang dapat merangsang keinginan para petani untuk terus mengembangkan
pengetahuan pertanian mereka sehingga bisa menghasilkan tanaman yang
berkualitas. Sehingga hasil tani mereka bisa bersaing dengan hasil pertanian
dari negara maju. Politik pangan dan pertanian menjadi kunci pemecahan masalah
ini.
Akhirnya,
globalisasi yang menimpa tempe di kemudian hari tidak akan menimpa para
produsen tempe dan rakyat miskin. Jangan sampai kita menjadi bangsa tempe yang
lembek!
Niken Ayu
Mahasiswa Komunikasi UNS
0 komentar:
Posting Komentar