Perjalanan Sheilagank menuju Pantai Nglambor : Pantai mungil yang tak dikenal orang.


“Asik itu adalah ketika mereka berteriak aaaaaaa....... saat ombak besar menghantam tubuh kami dan membasahi baju yang kering”

Ombak, satu elemen yang hanya terdapat di pantai, yaps.. tanggal 1 Januari 2015 kemarin aku dan teman-teman Sheilagank mengunjungi pantai Nglambor, sebuah pantai yang tidak terkenal di Yogya dan oleh karenanya aku penasaran ingin mencari tahu seperti apa pantai itu. Pantai Nglambor terletak diantara pantai Jogan dan Siung. Maka ketika hendak ke sana, arah yang dituju adalah pantai Siung.

Total 16 manusia berangkat ke Nglambor, siapa saja kah mereka? Dari Yogya ada aku dan adikku Siwi, Yulvan, Gigih, Ian, Atin, Yusup dan kawannya, sedang dari Solo ada Paijo, Tri Hendi dan adiknya, Dar, Udin dan kakaknya, Wawan, sedang dari Wonosari ada Aas. Banyak sekali cerita yang membuat emosi, tertawa, marah, jengkel, senang, dan menguji kesabaran. Baiklah, aku akan ceritakan dari awal. Rombongan dari Yogya berkumpul di Ringroad Wonosari jam 8.30 tepat, lebih awal dari rencana yaitu jam 9.00. Yusup yang tadinya mungkin sedang bersantai langsung meluncur ke Ringroad, aku selesai sarapan juga langsung menuju kos Mbak Atin untuk menggondolnya. Karena aku juga membonceng adikku, maka dari kos menuju Ringroad aku berboncengan tiga. Sementara Yulvan yang mengeluh tak enak badan kurayu untuk berangkat. Ia pun berangkat bersama Gigih, namun agak menelatkan diri. Sedang Ian, yang menunggu di JEC juga kuhampiri untuk bisa bergabung dengan teman yang lain.

Jangan dikira kami berangkat bersama dari awal hingga akhir, huh.. ini merupakan perjalanan yang menyebalkan karena kami harus selalu terpisah di jalan. Pertama, ketika dari ringroad kami berangkat untuk menghampiri Gigih dan Yulvan di POM BENSIN JL WONOSARI, aku sudah katakan itu pada yang lain bahwa kami akan berhenti di POM untuk menemui Yulvan dan Gigih,  namun ketika aku menemui Yulvan dan Gigih, rombongan Ian justru menghilang dan mendahului. Maka, terpecahlah kami menjadi dua. Sedangkan rombongan Solo sudah tiba di POM BENSIN GUNUNG KIDUL dan menunggu di sana. Saat menuju ke sana aku hanya bersama Yulvan, Gigih, dan Siwi. Ian, Atin, Yusup, dan kawannya hilang entah di mana. Telepon pun tidak diangkat. Perjalanan memakan waktu yang cukup lama, jam 10.30 kami baru sampai POM GUNUNG KIDUL, rombongan dari Solo yang sejak jam 9.30 menunggu mungkin sudah sangat bosan dan lelah. Ah ya, ada satu kejadian yang menyedihkan yaitu sandalku putus. Hiks, aku pun hanya memakai kaos kaki selama menuju POM GUNUNG KIDUL. Setelah ada toko, aku membeli sandal jepit. Sandal jepit harga 15.000 kutawar 5.000 gak dikasi oleh penjualnya, hahaha. Alhasil, sandal itu dilepas dengan harga 12.500. sesaat kemudian aku menerima kabar dari rombongan Ian bahwa mereka menunggu di bundaran Siyono. Tanpa mengulur waktu kami menuju ke sana, dan setelah bergabung dengan yang lain, Paijo, Yulvan, dan Gigih, berangkat dahulu karena harus menjemput Aas di rumah omnya.
Setelah berdiskusi soal jalan, kami berduabelas berangkat. Hanya ada dua orang yang tahu jalan ke sana, yaitu Atin dan Udin.. ecieeee namanya serasi.. maka Mb Atin di depan sedang Udin kusuruh tetap di belakang. Jalan sangat ramai dan macet karena memang hari itu adalah hari libur panjang, banyak orang dari luar kota datang ke Jogja. Hal inilah yang membuat kami sering tercerai berai.

Perceraian kedua yaitu saat rombongan Atin mengambil jalan lurus sedang rombongan Udin mengambil arah kiri. Ini cukup membingungkan dan berdampak pada perjalanan kami berikutnya. Terpecahlah kami menjadi dua, Udin (6 orang) dan  Atin (10orang), sepuluh orang yang nantinya akan terpecah lagi menjadi dua. Hiks, sangat menyedihkan. Rombongan Atin (ada aku didalamnya) lewat jalan alternatif yang tidak solutif. Sejak akan berangkat kami sudah bertekad tidak akan terpisah lagi. “Yang depan jangan terlalu cepat, yang belakang jangan terlalu lelet” ucapku pada mereka. Jalan altenatif pun kami lewati dengan hati-hati karena jalannya jelek seperti gambar ini. 


Tak hanya jelek, di ujung jalan kami harus bermacetan entah karena apa. Aku pun memutuskan untuk berjalan kaki karena tak sabar dengan kemacetan itu. Setelah sampai di ujung jalan rupanya loket tiketlah yang membuat macet panjang. Ini nih biang keroknya >>>>>>>>>>

Karena aku berjalan, maka aku tidak membayar dan menyelinap dipinggir-pinggir, ahaa... :D #nakalnya saya. Aas pun menyusul dengan tidak membayar sepertiku, dan kami cengengesan gara-gara itu. Setelah lengkap enam motor, kami melanjutkan perjalanan ke Nglambor.

Cerita berikut adalah yang paling tak enak, karena ada pertengkaran antara aku dan Paijo. Gara-gara rombongan kami terpisah jadi dua dan rombonganku tak ada yang mengetahui jalan ke pantai itu, sedang Mbak Atin meninggalkan kami. Sinyal habis, semua nomor tak ada yang bisa digunakan. Hanya telkomsel yang sedikit dapat diharapkan namun tak bisa menbantu jua. Kami berada dipersimpangan, kanan atau kiri? Mana jalan yang tepat? Tak ada yang tahu. Maka tak heran jika kami emosi, jengkel pada mereka yang meninggalkan dan tak mau menunggu saat ada persimpangan.
“Telepon lah mereka, ini lewat mana?” kata Paijo
“Gak ada signal Jo, pasti mereka juga” jawabku sambil membanting HP
“Ini kita mau ke mana sih?”
“Nglambor”
“Dekat apa?”
“Siung”
“Siung ke mana?”
“Kiri”
“Yakin?”
“Aku sudah tanya tadi”
“Yaudah ayo ke sana, ngapain nunggu orang yang ninggalin kita”
Kampret, daritadi juga sudah kuajak ke kiri tapi diem-diem aja. Aku membatin.
Setelah pertengkaran usai kami berangkat dengan kemantaban hati. Cuaca panas seperti hati yang juga ganas. Sampai di pantai Indrayanti, kami berhenti lagi, masih mencoba untuk menghubungi rombongan Mbak Atin. Tetap tak ada kejelasan. Kami bertanya pada orang lagi, da syukurlah orang itu tahu di mana Nglambor pantai yang tidak dikenal orang. 
Lima belas kilo jarak Nglambor dari pantai Indrayanti, meski terpisah dengan rombongan dan perjalanan masih sangat jauh, kami belum berhenti dan terus melanjutkan perjalanan. Sesampainya di persimpangan, Wawan memberitahu bahwa ia melihat Yusup.
“Itu tadi Yusup” katanya
“Serius kamu”
“Sumpah”
Kami sudah tidak bisa berhenti, Paijo memacu kendaraan dengan sangat cepat dan sulit untuk dikejar. Yang kutakutkan adalah rombongan Atin masih menunggu kami di pertigaan sedang rombonganku akan menuju Nglambor. Syukur, ada sinyal satu dua, tanpa membuang kesempatan sebelum hilang lagi, aku mengirimi Mb Atin pesan, bahwa mereka tak usah menunggu kami.
Yes, sampai di jalan menuju Siung, artinya sedikit lagi akan sampai Nglambor. Sambil masih menunggu rombongan Mb Atin tiba, kami sholat dan makan dahulu. Beberapa menit kemudian mereka datang, aku pun sedikit mengomel pada Mbak Atin gara-gara kasus peninggalan itu. Betapa kampretnya perjalanan ini, ditambah lagi si Udin yang belum ketemu. Selesai makan dan sholat kami menuju Nglambor. Jalan menuju Nglambor sangat buruk, hanya bebatuan tajam yang bisa-bisa bikin ban bocor. Ada adegan yang membuat ngakak yaitu : sandal si Paijo jatuh. (kok bisa lho ya? Entahlah, aku juga tak mengerti). Maka dia pun menuju ke bawah untuk mengambil sandal dan kami menunggunya, sambil menunggu, aku dan Aas sedikit narsis mengabadikan momen penting itu. cekikreek.... 

Perjalanan tinggal sedikit lagi, waktu menunjukkan pukul 13.30, rasa senang menghampiri ketika aku melihat hamparan pantai di bawah sana dan warna hijau rerumputan menghiasi. Kami memarkir motor dan sedikit merasa sedih ketika motor Udin dan kawanannya tak ada di tempat parkir itu, kami menduga mereka belum tiba, lebih-lebih kata Pak Parkir tempat parkir hanya ada satu saja. Jadi benar mereka belum datang, mungkin terjebak macet panjang, pikirku dan kawan-kawan.


Kami pun turun menuju pantai, saat aku mengangat bendera Sheilagank Solo Pandawa Lima, di bawah sana kulihat syal Pandawa Lima yang membentang. Aku meliat seseorang yang sepertinya tak asing. Entah mengapa otakku berjalan lambat, lambat menyadari bahwa itu Udin yang kucari. Setelah sadar, aku berteriak “Udiiiiiiiin.... wooooeeee kaliaaaan, uaaaaaa” seperti sahabat lama yang telah lima puluh tahun tak berjumpa. Senang rasanya bisa bertemu mereka lagi. Sorak, ramai, gaduh, tawa lega menghilangkan kejengkelan yang kami rasakan.  
“Lapar nungguin kalian” kata Siwi
“Sudah dari jam setengah satu kami sampai di sini” kata Udin
“Sudah puas mandi” Yulvan menambah. 
“Ayo ke bawah lagi” ajakku
“Ayo, mandi lagi” ajak Paijo
“Ogaaaahh” canda Gigih.
Kami semua akhirnya turun ke bawah. Mereka yang sebenarnya sudah ‘mentas’ terpaksa harus turun kembali dan bermain ombak lagi.
Ini dia pantai Nglambor dari bawah, mungil karena memang tidak berpesisir luas seperti pantai kebanyakan. Nglambor dibatasi oleh tebing bebatuan dan ombaknya cukup besar (karena sedang pasang).



Namun ini tak mengurungkan niat kami untuk bermain ombak. Awalnya malu-malu, mau mandi ragu. Aku pun lupa bagaimana caranya mandi di pantai, karena sudah sangat lama tak mandi di pantai. Maka aku hanya berpose saja, sambil bermain air dan menghindar ketika ombak besar datang. Paijo sudah basah. Ia menarik teman-teman lain ke dalam air. Saat aku ikut berfoto dengan ombak dengan pose melompat lebih tinggi, tiba-tiba kekuatan dasyat membanting tubuhku ke ombak. Aku basah. Akhirnya basah juga, huh Paijo. 

Yaaa, kami menikmati hari itu, bermain ombak, foto bersama, sendiri, sesuka hati, bersenang-senang, bercanda, membayar lunas perjalanan lima jam dari Jogja. Ada banyak momen lucu terkait ombak. Maklum sedang pasang, jadi ombak sangat besar, sehingga menyeret barang-barang kami ke laut. Ada sandal, jaket, yang terbawa ombak, namun syukur masih bisa dikejar dan selamat. Sebuah momen yang memecahkan tawa dan lucu jika dibicarakan kembali. Juga ketika Paijo masih asik mandi sendiri ketika yang lain bengong dan menepi.

Ombak semakin besar, sekitar satu setengah jam sudah kami bergelut dengan ombak, maka kami memutuskan untuk pulang. Semua sudah mandi dan bersih, maka saatnya untuk kembali. Melihat pemandangan laut dari atas membuatku tak ingin melewatkannya, maka aku mengambil beberapa gambarku dengan pantai itu, dan taraaaammm... ini dia...

Meski tak ingin beranjak, kami harus pulang jua. Ketika perjalanan pulang ini, rombongan sangat kompak, semua berderet dan pulang bersama, tak ada yang terpisah, bercerai berai seperti waktu berangkat. Maklum, jalanan sudah sepi.
Di perjalanan kami akan mampir makan di bukit bintang. Teman-teman mengeluh lapar, aku juga lapar. Oke, kami menepi sejenak di bukit bintang. Ada cerita yag menggelitik selama perjalanan, yaitu saat kami berhenti di POM untuk menunaikan sholat maghrib. Selesai sholat semua rombongan berkumpul namun tak segera berangkat, entah apa yang mereka tunggu. Rupanya Gigih ingin pulang dahulu karena harus ujian esok hari. Karena kupikir sudah beres semua, aku melanjutkan perjalanan. Namun, teman-teman berteriak. Aku berhenti dan menghampiri mereka lagi.
“Ada apa?”
“Ian mana?” jawab mereka kompak.
“Oh iya, lupa. Waduh, ke mana ya tu anak?” tanyaku
“Aduuh, partnerku hilang” kata Mbak Atin.
Kami tertawa akan kekonyolan ini. Sesaat kemudian dia sms isinya
“Atin di mana?”
Aku membacanya keras-keras sehingga semua teman-teman mendengar dan meneruskan tawa mereka. Setelah kubalas smsnya, dia datang dan berkata “Woooo, asem”
“hahahahahahahahaaaa.........” kami tertawa lepas.
Mungkin itu namanya karma, ketika berangkat dia yang sering meninggalkan, sekarang dia yang ditinggal sendiri. Hahaha.. #kapok
Semua lengkap, kami siap menuju bukit bintang. Sudah sampai di bukit bintang, kami mendatangi pemadam kelaparan sambil menikmati genitnya gemerlap lampu Jogja dari atas bukit. Tri dan adiknya yang masih SMA pamit pulang karena rumah mereka di Klaten, perjalanan masih sangat jauh. Sedang Yusup hilang entah ke mana. Sepertinya dia juga menuju perjalanan pulang. Tinggal sebelas makhluk yang ada. Nasi goreng, nasi bakso, bakso, teh hangat, dan secangkir susu menyelamatkan kami dari derita kelaparan. Setelah puas bercengkerama, kami akhirnya harus menuju rumah masing-masing.
Sebuah perjalanan yang menyisakan kesenangan, kenangan, dan cerita tersendiri. Aku senang melihat mereka yang akhirnya saling mengenal karena telah membuat cerita bersama. Maka ketika esok bertemu kembali di lain hari, jangan lagi canggung dan tak saling menyapa. We are the big family of Sheilagank. Salam persahabatan selalu dan jalan terus Sheilagank di manapun kalian berada. Terimakasih. 


Yogyakarta, 3 Januari 2015. NA.

5 komentar:

Niken Ayu. Diberdayakan oleh Blogger.