Kota Perang



Pagi yang mencekam. Lagi-lagi terdengar suara bom di sana-sini. Lagi-lagi terdengar suara tembakan berkali-kali. Lagi-lagi terdengar suara jeritan wanita-wanita tiada henti. Lagi-lagi terdengar tangisan anak-anak yang tak mengerti apa yang sedang terjadi. Di sana api, di sini api. Di sana darah di sini darah. Api merah menyala bercampur dengan darah menghiasi kota yang semestinya memberikan keindahan tiada tara.  Kota ini memberikan kepedihan tiada tandingan. Kota ini telah indah dengan perang yang mengerikan. Sebuah suasana kota yang menakutkan seolah tiada harapan untuk dapat merasakan kegembiraan esok hari. Jangankan untuk gembira, untuk dapat bernafas detik nanti saja adalah anugrah luar biasa. Kota yang mengerikan, jika saja aku dapat pergi aku pasti sudah pergi sejak dulu tanpa perlu menunggu waktu.
Namun aku telah terbiasa dengan ini semua. Aku lahir bersamaan dengan tewasnya lima puluh lima warga di kota ini akibat ledakan bom. Aku lahir disambut oleh ledakan bom. Huh, kadang aku merasa itu lucu, seolah satu anak yang belum tentu berguna sepertiku dapat menggantikan lima puluh lima nyawa yang melayang. Aku telah terbiasa dengan situasi mencekam seperti ini, karena aku hidup, tumbuh dewasa beriringan dengan suara-suara tembakan dari para musuh yang tak kenal ampun. Semua yang ada di hadapannya ditembak sampai mati. Tak peduli tua, muda, anak-anak dewasa, laki-laki perempuan, semua menjadi sasaran peluru. Seolah kami adalah benda mati, boneka percobaan yang tiada guna hidup di kota ini. Aku telah terbiasa hidup dengan jeritan, tangis, ratapan,
orang-orang yang memperjuangkan hidupnya. Maka aku merasa terbiasa dengan suasana perang ini. Tembakan-tembakan, jeritan tangis, adalah nada lagu yang kudengar setiap hari. Darah, luka, mayat, bukanlah pemandangan baru. Aku sama sekali tak heran, apalagi takut pada hal seperti itu. Karena aku tak tahu, bagaimana suasana kota tanpa perang. Aku mana tahu suara kota tanpa tembakan, aku tak pernah mendengar itu. Udara yang kuhirup bukan udara kota yang tercemar asap kenalpot, melainkan udara yang bercampur mesiu, amis darah, dan bangkai-bangkai mayat. Itu adalah udara yang kuhirup setiap hari selama lima belas tahun lamanya. Ya, aku telah lima belas tahun tumbuh di kota perang ini.
“Buuummm” terdengar suara bom yang luar biasa. Aku melihat orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Sebuah rumah sakit telah hancur lebur oleh bom. Bangunan roboh seketika, luluh lantak menimpa pasien-pasien yang mungkin sudah berhenti berharap untuk dapat hidup, atau bahkan diantara mereka menginginkan segera saja nyawanya diambil. Seorang anak perempuan, berusia lima tahun menangis diantara puing-puning bangunan itu. Ada luka di kepalanya, meneteskan darah ke alis, mata, lalu ke pipi. Darah bercampur air mata, air mata bercampur duka, terus menerus menetes ke bajunya yang lusuh, membasahi seluruh badannya seolah menyatu dengan derita yang dirasakan jiwanya. Tiba-tiba seorang lelaki membawanya pergi. Berlari jauh menyelamatkan nyawanya. Anak kecil ini sontak membawaku ke masa lalu, satu tahun lalu. Ketika itu adikku yang juga mengalami hal serupa, terkena reruntuhan bangunan akibat ledakan dasyat. Ketika itu aku juga sedang bersamanya. Kami terluka bersama. Ia menangis persis seperti anak kecil yang kulihat baru saja, tangisan kerasnya berlomba dengan suara tangisan wanita-wanita membentuk koor derita manusia sepanjang sejarah. Aku melihat dengan jelas bahwa ada sebuah besi yang menimpa kepala kami berdua. Dari kepalanya keluar darah tiada henti, mengucur deras layaknya sumber mata air. Besi itu juga menimpa kepalaku. Dari kepalaku juga mengucur darah yang juga sama seperti adikku. Aku berteriak meminta tolong, memanggil bapak dan ibuku. Aku berteriak kepada orang-orang, tapi tak satu pun diantara mereka yang mengulurkan tangan. Dengan segenap kekuatanku, aku membawa adikku pergi menjauhi tempat tragedi itu. Aku menggendongnya di punggungku, tak peduli jika aku harus mati di medan perang ini asal adikku dapat terus melihat dunia. Adikku terus menjerit, merasakan kesakitan luar biasa di kepalanya. Dan ketika aku telah berjalan sejauh dua puluh meter, tangisnya berhenti. Aku menurunkannya dari punggungku. Namanya kupanggil berkali-kali, kugoncangkan tubuhnya ke kanan kiri, tak ada reaksi. Adikku mati. Aku sangat terpukul pada kematian adikku. Memang aku telah banyak menyaksikan kematian orang-orang, namun ketika adikku yang tewas, rasanya aku tak ingin hidup lagi, aku ingin bersama dengan adik yang kucintai ini. Saat itu aku pun berharap untuk mati saja. Dapat hidup tenang tanpa suara bom, tembakan, jeritan, tangis, dan tragedi umat manusia paling menyakitkan. Namun aku masih hidup, hidup diantara orang-orang yang bernasib sama.
“Amir, cepat lariiii” Suara Ibu yang berteriak memanggilku membuyarkan lamunan. Aku menghampiri Ibu dan membawakan barang yang memberatkan pundaknya. Huh, hidup sudah berat begini, masih harus bertambah berat dengan harta benda yang tak begitu berharga. Sekarung pakaian dan makanan untuk stok di penampungan, untuk mempertahankan hidup di medan perang. Untuk mempertahankan hidup di kota perang, kota yang mencekam. Aku berlari bersama Ibu dan Bapak ke tempat yang katanya lebih aman. Aku tak mengerti apa-apa, jadi aku hanya menurut saja. Aku tiada mempunyai apa-apa yang berharga selain kedua orang tuaku ini. Aku masih berlari bersama mereka juga bersama orang-orang yang melarikan diri dari ganasnya perang. Melarikan diri dari kematian. Suara tembakan terdengar lagi, mayat-mayat bergelimpangan lagi. Aku dan orang tuaku masih berlari dan terus berlari sekuat tenaga. Peluru-peluru itu seperti mengejarku.
Semua orang berlari, berhamburan ke segala arah. Suami-suami memanggil istrinya, ibu-ibu memanggil anaknya, adik-adik memanggil kakaknya. Semuanya panik, ada yang bersembunyi di balik mobil, ada pula yang bersembunyi di balik gedung mencoba menghindari tembakan para serdadu. Sebuah bom meledak lagi, menghancurkan pabrik senjata. Asap hitam membumbung ke langit, dan kepulan api di sekitarnya merembet membakar apa saja.  Suasana sangat kacau, kota yang kacau. Asap-asap itu membuat sesak pernafasan seolah tak ada lagi oksigen di dunia ini.
Tenaga medis panik, banyak orang yang terluka tembakan dan bom. Luka bakar di mana-mana. Mereka yang terluka mengerang kesakitan. Dari sorot mata mereka tersimpan harapan untuk tetap hidup dan selamat, dari pancaran mata mereka terlihat kebahagiaan bersama keluarga, tertawa dan bermain dengan keluarga mereka. Semua dokter berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan jiwa manusia yang sedang sekarat itu. Para perawat memberikan obat-obat dengan gugup sehingga obat-obatan dan jarum suntik berhamburan ke lantai. Dokter berteriak pada perawat memberi intruksi agar pasien yang masih bisa diselamatkan diberi tanda pada dahinya. Para perawat kebingungan, semua panik, perawat panik, dokter panik, pasien kalang kabut.
Aku masih berlari bersama orangtuaku, menghindari peluru para serdadu. Tiba-tiba aku merasakan sakit dan panas pada kakiku. Kulihat darah mengalir dari dalam kulit, kakiku tertembak. Aku terjatuh dan tak mampu berlari lagi. Ibu dan bapak melihatku, mereka berhenti berlari. Bapak mencoba menggendongku, namun tiba-tiba sebuah peluru juga bersarang di dada ibuku. Ia berhenti berlari seketika, badannya ambruk. Ibu menjerit kesakitan, matanya melotot menakutkan, seolah mengisyaratkan betapa sakit dadanya akibat tembakan itu. Air mata duka mengalir dari mata jantan bapak. Ia seolah tak kuasa melihat dua orang yang sangat dicintainya kesakitan. Dari sinar matanya mengalir sumpah serapah untuk para serdadu terkutuk itu, yang tak punya rasa perikemanusiaan. Mereka hanya tahu kami adalah musuh yang memang harus dibasmi, agar tidak mengotori negeri. Kami adalah sekumpulan manusia yang dijadikan taruhan adu kehebatan. Tenaga medis menghampiri kami, aku dan ibu dibopongnya ke dalam sebuah gedung. Di sana banyak korban keganasan perang, aku dan ibuku juga turut memenuhi gedung itu. Aku menahan sakit pada kakiku, bahkan aku berpikiran bahwa kali ini aku pasti mati, tidak mungkin tidak. Darah terus mengalir deras dari kakiku. Aku dapat melihat daging di dalamnya. Sangat perih, panas, dan sakit, seolah tiada lagi kesakitan yang lebih sakit dari ini. Aku melihat ibu kejang-kejang, matanya melotot menakutkan, aku mendekat padanya dengan muka berlinang air mata. Aku berdoa agar ibuku tetap hidup, biar aku saja yang mati. Rasa-rasanya aku sudah tak tahan pada situasi ini. Aku mendekatkan telingaku pada bibir ibu, ia seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun aku tak bisa memahami apa yang ia katakan. Bapak juga ada di samping kami berdua. Kami terus mencoba menguatkan ibu.
“Bertahanlah, Bu, Ibu akan selamat, ibu akan tetap hidup. Dokter akan menyelamatkan ibu,” kataku sambil terus menangis. “Ibu jangan pergi, Amir sayang pada ibu,” lanjutku sambil terisak menahan kesakitan di kaki dan di hati.
Ibu terus mencoba untuk mengatakan sesuatu, namun aku dan bapak tak dapat mengerti apa yang ia katakan. Dokter datang memeriksa ibu, ia memberikan sebuah obat, entah obat apa itu. Mungkin obat pereda nyeri atau sejenisnya, aku tak tahu. Aku mana tahu tentang dunia kedokteran, yang aku tahu ibuku sedang sekarat dan aku berharap ia selamat. Aku menggenggam tangan ibuku erat, tangannya dingin, sangat dingin. Tiba-tiba kejang-kejang ibuku berhenti, kupikir ini pengaruh obat tadi, namun mata ibu masih melotot, mulutnya menganga mengerikan. Ketika itu aku tahu bahwa ibu telah tiada. Ayah mendekapku dan menutup mataku.
***
Setelah kematian ibu, bapak menjadi pemurung. Ia tak seceria dulu, tak bergairah seperti dulu. Mungkin ia berfikir untuk apa dan untuk siapa lagi ia hidup? Tak ada lagi yang perlu diperjuangkan dalam hidupnya. Mungkin bapak pun sudah tak ingin hidup. Ah, ini hanya pikiranku saja, hanya pikiran anak berusia lima belas tahun, belum tentu benar. Anak sekecil ini, mana tahu pemikiran orang dewasa yang penuh teka-teki. Ya, tentu bapak bisa mengambil hikmah di balik ini semua dan menjalani kehidupan dengan penuh kesabaran. Bapak yang kukenal adalah orang yang kuat, seorang lelaki yang tangguh. Yang selalu membuat kami merasa kuat. Tentu bapak bukan orang yang pantang menyerah.
Aku memperhatikannya yang masih duduk di depan tenda pengungsian, melamum, mungkin sedang memikirkan sesuatu atau mengenang sesuatu. Entahlah. Tiba-tiba tangan kiri bapak memegang pistol. Dari mana bapak mendapat pistol itu? Untuk apa ia memegang pistol pagi-pagi buta begini? Bapak mengarahkan pistol itu ke kepalanya. Tubuh bapak teratuh. Aku terlambat mencegahnya. Kakiku yang masih sakit berlari sekencang-kencangnya menghampiri bapak, namun ia telah tiada. Badanku lemas, aku memeluknya. Air mataku pun jatuh bercucuran, kenyataan yang sangat pahit ini harus kuterima.
Kini, aku hidup sendiri di kota perang ini. Kota tanpa kepastian kapan perang akan berakhir, sudah lima belas tahun aku hidup. Hidup diantara reruntuhan, diantara penderitaan, sakit, dan pupusnya harapan untuk merasakan kegembiraan. Seharusnya aku pun sudah mati dari dulu, satu jam setelah aku menghirup udara dunia. Bukankah aku hidup disambut oleh ledakan bom dasyat di kota perang ini? Namun luar biasa, aku masih hidup. Bahkan aku sudah tiga kali lolos dari maut.  Aku sendiri juga heran, mengapa aku tak juga mati, padahal bom meledak satu jam setelah aku dilahirkan, padahal reruntuhan bangunan telah menimpa kepalaku dan adikku, padahal sebuah peluru telah bersarang di kakiku yang ternyata hanya membuatku pincang.
***
 “Bagaimana keadanmu, Nak?” suara seorang perempuan ramah.
Aku hanya menatapnya. Terlihat dari pakaiannya ia adalah seorang perawat. Aku terbaring lemas dan kurasai panas dan sakit di jari telunjukku. Kulihat tanganku. Rupanya jariku putus. Memori ingatanku kembali terbuka, aku ingat bahwa bom meledak. Aku melihat ledakanya yang dasyat dan sangat cepat meruntuhkan bangunan di sampingku. Aku terpental jauh dan tak sadarkan diri. Kukira aku sudah mati karena ledakan dasyat itu, namun rupanya aku masih hidup. Ya, aku masih hidup.

Solo-Yogya. 14 Maret 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Niken Ayu. Diberdayakan oleh Blogger.