Senyummu Kala Itu

source : google.com
Meski berkali-kali jatuh cinta, aku tak pernah berhasil menuliskan cerita romance. Begitu juga dengan “Senyummu Kala Itu” yang hanya berhenti di prolog :

Jingga. Itu bukan namamu.

Bulan di atas sana, masih saja manis. Aku tak perlu berdiri tinggi-tinggi agar menikmatinya, ia terlihat dari balik jendela kamarku. Aku melihatnya seperti melihat senyummu kala itu. Mata yang bersinar yang begitu.. ahhh.. habis sudah kata-kataku untuk menggambarkan keindahanmu. Aku tak mau pedulikan apapun malam ini. Lonceng-lonceng di luar sana. Hingar bingar jalan. Juga orang-orang yang berteriak “maling maling”, aku tak peduli. Kegaduhan itu, tak ada urusan denganku.

Nothing Gonna Change My Love For You masih melantun. Jika Michael Masser dan Gerry Goffin mengambarkan cinta seperti bintang penuntun dalam lagu itu, aku pun menggambarkanmu seperti nada yang tiap kali kudengar saat malam tiba mampu memberikan kedamaian. Lagu memangbisa membawa kita pada berbagai suasana, terkadang kuat laksana karang terkadang lemah seperti embun.

Bulan semakin tinggi. Sebentar lagi menghilang dari pandanganku. Seperti kau yang perlahan menghilang dari pandanganku kala itu. Berpamitan pulang karena hari akan semakin gelap. Namun senyummu masih tersimpan, terjaga, seperti kau menjaga kotak maroon pemberianku. Kotak yang hanya berisi sebaris puisi yang kubuat setelah aku berjumpa denganmu 110 hari yang lalu. Senyummu itu masih senyum yang dulu. Mata yang masih memancarkan sinarnya, teduh namun menyimpan banyak kepahitan. Orang-orang masih gaduh. Semakin ramai. Tidak lagi tiga orang yang mengejar maling itu, tapi sekampung. Apa yang dicuri? Mungkin ayam atau kambing. Entah. Aku tak peduli. Jalanan pun masih ramai. Kulihat jam dindingku menunjukkan pukul 23.00, tapi jalanan ini tak pernah mati. Apa yang mereka lakukan malam-malam begini? Mungkin membeli obat nyamuk, pulang dari pesta, atau hanya mencari udara. Entah. Aku tak peduli.

You’re Still the One Shania Twain digantikan Heaven Bryan Adams.Kata orang ini lagu romantis. Aku tak tahu haruskah aku percaya pada kata orang-orang itu atau membiarkannya berlalu. Tapi aku percaya bahwa setiap lagu dibuat dengan sepenuh hati. Dan lagu-lagu itu selalu menyimpan cerita dari pembuatnya, terkadang manis terkadang tragis. Begitupun lagu-lagu romantis yang takkan lepas dari cerita orang-orang yang mendewa-dewakan cinta.

Bulan menghilang dari pandanganku. Benar-benar menghilang. Tapi senyummu bukan cahaya bulan karena ia masih bersamaku di sini. Senyum yang selalu meneduhkan tiap kali terbayang. Aku suka mengenang senyummu, sangat suka. Ia begitu mendamaikan jiwaku.

Kututup jendela kamarku juga kelambu-kelambunya. Kau bilang : angin malam itu tak sehat, begadang juga tak baik. Tapi siapa suruh senyummu datang malam-malam begini? Memaksaku menuliskan kata demi kata demi menggambarkan senyummu kala itu. Namun aku gagal. Senyummu tak terdefinisikan oleh kata. Biarpun aku telah membaca tumpukan puisi dan mendengar ribuan lagu paling romantis di dunia, itu tak cukup membantuku menterjemahkan senyummu kala itu.

Kenangan  memang seperti angin. Datang dan pergi tanpa seorang tahu kapan waktu itu? Terkadang datang begitu deras meski kita tak mengingatnya, terkadang samar meski kita telah berusaha keras mengingatnya. Maling itu sudah tertangkap. Ia mencuri sekarung beras. Huh, maling kere. Jalanan sudah sepi. Kegaduhan perlahan hening. Sepi tanpa suara. Hanya terdengar jam dinding di kamar ini. Lagu-lagu yang menemaniku seolah beristirahat. Senyummu kala itu tak berhasil kuterjemahkan dengan kata. 

Yogyakarta, 14 September 2016. 115

Niken Ayu. Diberdayakan oleh Blogger.