Tak tahu harus memulai dari mana cerita ini. Rasanya pilu, hidup sungguh pilu. Betapa kematian itu pilu, menyakitkan.
Niken ikhlas Tuhan, aku tahu Kaulah penguasa atas segala yang terjadi di dunia ini. Manusia dan segala isinya adalah milikMu. Maka kepada-Mulah kami kembali.
Hanya rasanya, pilu.
Bulekku Kau panggil ke pangkuanMu. Paklekku telah lebih dulu Kau panggil. Dua adik sepupuku ini, bagaimana melanjutkan hidupnya? Ah yaa.. Tapi aku percaya, segala rencanaMu pastilah telah Kau atur dengan rapi, melebihi praduga manusia.
Jumat, sekitar jam 10 pagi, sebuah pesan Whatsapp dari adik mengabarkan bahwa bulek kritis. Seketika itu yang ada di pikiranku adalah pulang ke Solo. Beberapa saat kemudian pakdhe menelpon, "Harapannya tinggal 20%" begitu kata dokter. Haruskah menyaksikan Kematian lagi? Itu yang ada di otakku.
Rencanaku pulang di hari Sabtu pun kumajukan, dan untuk yang pertama kalinya aku izin tak masuk les. Aku ceritakan hal ini pada teman kerjaku dan ia menyarankan untuk membeli tiket pramex saat istirahat. Alhamdulilah, jika biasanya antrean sangat panjang, kali ini aku membeli tiket tanpa antre. 15 menit berlalu, aku kembali ke kantor. Jam 1.30 aku menuju Loving Hut dan masih harus menyelesaikan pekerjaan. Jam 2.00 perjalanan pulang. Makan pun tak sempat. Syukurlah, pakbosku yang baik dan pengertian mau membungkuskan makanan untuk kumakan di kereta. Makanlah aku di kereta. "Jangan terlambat makan, kamu harus makan" begitu ujarku. Di atas kereta kumakan bekal + lauk dari Loving Hut yang dibelikan pakbos. Makasi banyak Mas Bob. :))
Jam 4 kereta tiba di stasiun Solo Balapan. Aku masih menunggu bus trans yang bisa mengangkutku ke Rumah Sakit dr. Oen.
Aku tertegun melihat kondisi bulekku. "Aku bakal kehilangan bulek" begitu bisik hatiku. Pesan Mbak Linda yang menyarankanku untuk membacakan surat yasin pun kulakukan. Katanya itu akan membantu, jika sembuh maka akan diberi kesembuhan. Tapi jika tidak akan dimudahkan jalannya. Jam 5.00 aku sholat ashar & membacakan surat yasin khususon bulekku. Kondisinya sangat parah, itulah sakaratul maut yang beberapa kali kusakaikan. Rasanya entah, mungkin sakit, sangat sakit. Bagaimana sebuah nyawa dicabut dari raga, tentu itu sakit, Tuhan. Kiranya dua jam yang kusaksikan sakaratul maut itu. Bibir dan hati bergantian membaca doa. Meminta agar dimudahkan jalannya. Setelah kubelai kaki bulekku sambil membaca ayat kursi berkali-kali, jam 19.10 pulanglah bulekku ke pangkuan Tuhan.
Innalilahi Wainnailaihirojiun. Semua adalah milik Allah dan kepadaNyalah semua kembali.
Surakarta, 22 Juli 2016.