Sepotong Kenangan Dari Dieng

Sebuah cerita kembali kutulis dengan sepenuh hati dan cukup mengorek memori. Jika dalam cerita berikut ini ada yang terlewatkan maka jangan protes karena aku takkan merevisinya jadi lebih baik kau berikan komentar pada kolom yang tersedia. Juga aku mengharap pemakluman dari pembaca yang budiman karena memori dalam ingatan ini sudah usang dimakan waktu.

Mei lalu tepatnya tanggal 16-17 2015, acara dolan kembali diadakan. Masih bersama sheilagank, karena barangkali dengan mereka aku bisa bahagia, dan tempat wisata yang kami tuju adalah Dieng. Ada yang berbeda pada acara dolan kali ini, karena sheilagank yang ikut bukan hanya dari Jawa Tengah saja tapi juga ada yang datang jauh-jauh dari Jawa Timur, tepatnya Surabaya. Sebutlah namanya Sukar dan Sukur, haha.. Oh, maaf aku mulai gila.

Yaps, Dieng, tempat wisata yang sudah pasti banyak orang mengetahui dan dikunjungi atau bahkan sudah banyak orang yang berkali-kali datang ke tempat wisata menawan ini.
Namun ini baru pertama kali aku mendatanginya, alasannya adalah satu yaitu penasaran. Mengunjungi tempat baru adalah hobiku dan syukurlah, dalam rombongan sheilagank dolan ini banyak yang belum pernah ke Dieng. Sebuah perjalanan akan mengobarkan api semangat jika kita memiliki tujuan dan keinginan yang sama. Begitupun kami, hanya delapan dari dua puluh lima anak yang pernah ke Dieng.

Sebelum bercerita sangat jauh, izinkanlah aku untuk membocorkan sebuah cerita menggelitik yang terjadi saat H-7 menjelang acara dolan. Malam itu waktu menunjukkan sekitar pukul 20.00, sebuah pesan di grup Whatsapp muncul dengan tiba-tiba dari seseorang yang jauh di sana, sebut saja namanya Budhi (asli nama sebenarnya).
“Dari Galerria ke mana?” Isi pesan itu
“Lurus aja, Mas, nanti udah nyampe Tugu”. Jawabku lugu
“Oke”. Balasnya
Otakku loading sejenak, lalu berfikir mengapa Kak Budhi bertanya demikian. Lalu aku pun bertanya,
“Mas Budhi mau ke mana?”
“Aku sudah di Tugu ini, kumpulnya di sebelah mana?”
Seketika tawaku lepas tak terkendali, antara kasihan dan geli mengetahui kejadian ini. Tanpa pernah kuduga dan kubayangkan, kok ya ada satu anak salah hari dan dengan PeDenya mengenakan kaos Musim yang Baik, mengendarai motor sendiri dari Solo ke Jogja untuk berangkat ke Dieng mengira bahwa hari itu adalah waktu piknik. Entah jin apa yang merasuki Kak Budhi atau ia terlalu senang sehingga membuatnya lupa anak istri.... eh maksudku hari. Dia pun bercerita bahwa sebenarnya ada satu acara yang dia batalkan pada malam itu gara-gara ia ingin ikut dolan. Sesampainya di Jogja, ia memutuskan untuk langsung ke Tawangmangu. Namun jam telah menunjukkan pukul 22.00, berbahaya dan ‘ngenes’ jika Kak Budhi harus pulang tanpa dendam. Maka, ia pun menginap di kos Udin setelah membeli enam gantungan kunci. Kami masing-masing dibelikan dua gantungan kunci oleh Kak Budhi. Baiknya ya Kak Budhi.. jangan panggil dia Budhi jika tak membuat orang lain senang. “Di manapun kau berada, selalu membuat kami tertawa”. Untuk yang penasaran dengannya, ini foto ketika kami bertemu di nol kilometer Yogyakarta. 
Udin - Niken - Kak Budhi

======= next

Narsis dulu di Tugu Yogyakarta
Hari Bersamanya pun tiba, sebuah hari yang kami tunggu kami nanti dan akan menjadi salah satu hari yang kami rindukan suatu hari. Pasukan telah berkumpul, total tiga belas anak dengan rincian dua dari Jawa Timur (Aulia dan Masrur), satu dari Solo (Ikhsan tanpa Kak Budhi), satu dari Klaten (Mas Edi), dan sembilan dari Jogja (Aku, Udin, Wawan, Atin, Aisyah, Ian, Tyas, Yusup, dan Anis). Kami berkumpul di Tugu Jogja, briefing, dan berpose sebentar untuk sekedar mengabadikan kenangan, lalu jam 22.30 kami menuju alun-alun Wonosobo. 
Sementara kawan dari Semarang sudah sampai di lokasi sejak sore hari. Sisanya sang tuan rumah Wonosobo dan Banjarnegara menunggu dengan setia di alun-alun Wonosobo. Selama perjalanan ke Wonosobo sangat lancar, tak ada rombongan yang tercecer dan ketinggalan seperti saat dulu, karena kali ini kami mengatur barisan dengan sangat rapi dan setiap motor diberi nomor antrean, hehehe. Thanks to Masrur untuk idenya. 



Seperti yang telah diprediksikan kami tiba di alun-alun pukul 01.00, jalanan sangat sepi dan kami terhindar dari macet. Meski kami sedikit waswas karena harus menelusuri jalan di malam hari, syukur alhamdulilah, doa mengawal perjalanan kami sehingga kami selamat sampai alun-alun tanpa halangan apapun.
Sesampainya di alun-alun kami bertemu dengan rombongan sheilagank Banjarnegara. Perkenalkanlah mereka Adi, Sucipto, Indah, Anisa, Firman, Tyas, Eron, teman Eron, dan Ardi. Setelah berjabat tangan, kami istirahat sebentar, berpose, sedangkan aku mojok dengan Aulia (makan, haha, maklum, kawan baruku yang satu ini penderita maag akut jadi tak boleh telat makan). Sehabis makan, kami kembali bertingkah di depan kamera.
Ian & Udin minum air langsung dr kran
Perjalanan ini jauh dari usai, maka kami harus kembali mengendarai motor untuk menuju kawasan wisata Dieng. Dinginnya udara malam Wonosobo menusuk kulit hingga ke tulang, kami kedinginan. Ditambah aku tak membawa jaket tebal karena ia tertinggal di Solo. Di sinilah cerita gawat mulai muncul. Motor Yusup bensinnya menipis, sangat tipis, jarumnya sudah berada pada titik kritis. Selama perjalanan kami terus mencari dan terus mencari POM Bensin atau pedagang eceran namun tak satupun yang buka. Jalan sangat sepi dan pemandangan kanan kiri adalah sunyi. Kami terus melanjutkan perjalanan. Sampai di rumah Lukman, di jalan akan masuk rumahnya ada pedagang bensin tapi tutup. Karena motor kami sangat membutuhkan asupan energi kami mengetuk pintu penjual bensin eceran itu. Syukurlah, masih ada beberapa liter bensin untuk menghilangkan dahaga si motor dan kecemasan kami. Perjalanan pun dapat kami lanjukan.

Berebut Api Unggun
Sekitar jam 03.00 akhirnya kami sampai di lokasi. Menjumpai api unggun yang masih hangat, kami seperti menemukan harta karun dan berebut mendatanginya untuk menghangatkan badan. Adi mencatat nama-nama pasukan untuk diabsen. Semua lengkap dan tak ada yang kurang. Setelah berjumpa dengan rombongan dari Semarang kami mendaki bukit Sikunir. Mendaki bukit ini yang ada hanyalah gelap dan ramai akan sangat yang berbahaya jika sampai kami terpisah. Untung saja, kami membawa cukup senter dan HP berisi lagu sheila on 7. Kami putar lagu sheila on 7 sekaligus sebagai tanda bahwa kami harus mengikuti suara itu. Ini cara kami agar tetap sejalan. Sesekali kami berhenti untuk absen ulang rombongan. Apakah lengkap? Tidak. Ada beberapa nama yang hilang entah ke mana. Mungkin di depan, bisa juga di belakang, well, kami pun Jalan Terus namum pada akhirnya kami yang terpisah bisa berjumpa kembali gara-gara lagu sheila on 7.

Jam 04.00 kami sampai puncak, menunggu sunrise yang kata orang sangat indah. Sambil menunggu sunrise kami duduk manis dan menyanyikan lagu kebanggaan kami apalagi jika bukan lagu sheila on 7. Suara koor dari atas Bukit Sikunir ini membuatku bahagia, bahkan saat aku membuat tulisan ini, rasa-rasanya aku ingin kembali ke sana, melantunkan lagi dan lagi lagu kesayangan bersama kalian.
Sang fajar yang dinanti telah memunculkan tajinya dari timur. Kami berebut mengabadikan pemandangan indah ini. Warna oranye kekuningan mentari membuat langit sangat cantik. Semakin lama, semakin terlihat awan-awan putih yang membuat Sikunir semakin menakjubkan. Sebuah pemandangan yang memanjakan mata, membuat kami ingin di sana berlama-lama. Sebuah pemandangan yang elok telah membayar lunas perjalanan jauh kami. Sebuah pemandangan yang luar biasa, tak dapat membendung hasrat kami untuk bergaya di depan kamera. Inilah beberapa karya dari atas Bukit Sikunir. 









Waktu masih pagi, jam menunjukkan pukul 08.00. Kami memutuskan untuk turun karena telah puas bersenang-senang di ketinggian Bukit Sikunir. Tempat wisata tujuan kami selanjunya adalah Bukit Ratapan Anak Tiri, hehe... begitu kami memelesetkannya. (Bukit Ratapan Angin, nama sebenarnya). Tiket masuk ke lokasi ini adalah Rp 10.000. Dari Bukit Ratapan Anak Tiri ini, kami bisa melihat Telaga Warna dari atas seperti foto-foto yang beredar di google. Cukup indah, namun sayang, aku sudah kehabisan tenaga dan yang kurasai hanyalah lemas. Cuaca panas, kontras dengan malam hari di Sikunir. Maka, sejenak kulepas lelahku di sini.

Sedang kawan yang lain asyik bergurau dan yah apalagi jika bukan jeprat jepret. Pemandangan yang indah dan momen-momen langka seperi itu memang harus dibidik oleh kamera. Sekitar tiga puluh menit aku isirahat, kubuka mataku dan aku berlari menghampiri mereka untuk ikut berfoto, hahaha.. Aku sudah hidup kembali. Tapi aku butuh nasi, maka aku, Adi, panglima Atin, dan entah siapa aku lupa, memutuskan untuk turun sedang Tyas, Anis, Udin, Iksan, Aulia, Masrur, dan sisanya masih menggelora hasratnya menjelajahi Buki Ratapan Anak Tiri ini. Setelah puas, mereka juga turun untuk mengisi perut yang sudah rewel. Sebuah kelucuan kembali terjadi, satu-satunya lelaki yang berambut gondroooong dalam rombongan ini dipanggil Mbak oleh seorang ibu, ibu itu mengira bahwa Mas Firman adalah wanita. (Mas, gak punya niat buat potong rambut setelah ini? Atau cukup senang dengan nama baru Mbak Fira? Ckckck)



Waktu beranjak siang, kami memutuskan untuk pulang. Namun sebelum pulang, kami harus dan wajib mampir ke rumah Lukman, karena semalam rencana ini batal lantaran waktu terlalu mepet. Sampai di rumah Lukman, kami berisirahat dan tidur sangat lama. Hampir semua anak tidur, kecuali aku, Mas Firman, Wawan, dan Tyas. Di saat mereka nyenyak tertidur, naluri jahilku hidup kembali. Aku memotret mereka dan mengunggah foto di grup. Maaf ya kawan, naluri ini tumbuh tak terkendali. :p 


Adzan Dhuhur menggema, kami menjalankan ibadah lalu berencana untuk pulang karena perjalanan pulang cukup memakan waktu ditambah sepaket bonek Surabaya harus segera pulang agar dapat berakifitas seperti biasa esok hari. Jam 14.00 kami memutuskan untuk tinggalkan Lukman sendiri, kasian deh loo... emang enak ditinggalin? Makanya pindah Jogja aja. Week.. :p 

Karena tak ingin sendiri dan tak ingin kesepian, Lukman menahan kami dengan makanan. Yaps, kami disogok dengan hidangan istrinyewa (baca : isimewa) sehingga tak jadi pulang. Makanan sudah habis, Lukman tak punya ide dan alasan lagi untuk menahan kami. Sebagai kenang-kenangan, kami berpose lagi di rumah Lukman, beberapa jepretan terambil, meski dengan penuh perjuangan karena batre kamera sudah habis. 

 

Lukman, kami pami pulang ya, terimakasih untuk jamuannya dan kebaikan hati menampung anak-anak bolang yang kelelahan ini untuk pejamkan mata. Maaf, kami harus pulang membiarkanmu kesepian karena tak ada lain pilihan.


Kupikir, inilah waktu yang tepat untuk berpisah...... dan kami harus benar-benar mengakhiri hari indah ini, tapi Wonosobo masih punya satu alasan untuk menahan kami. Mbak Ida. Perkenalkanlah kakak cantik yang satu ini, dia memang tak ikut piknik namun ia ingin menemui kami di Alun-alun Wonosobo. Kami berjumpa dengannya, berjabat tangan, dan Mbak Ida menggiring kami ke suatu tempat untuk ngopi. Karena ini adalah acara sheilagank, maka di tempat ngopi pun panglima Atin me-request lagu sheila on 7. Sayang, hanya diputarkan satu lagu, pelit deh. Kami masih ngobrol ke sana ke mari dan tak terasa minuman di cangkir telah habis. Adzan Ashar berkumandang, waktu sudah sore. Kali ini kami benar-benar harus pulang. Surabaya, Jogja, dan Solo menunggu kami untuk kembali.
Ngopi
Perjalanan pulang tak semulus saat berangkat, karena hari sudah mau malam, kami harus cepat sampai Jogja, sepaket bonek Surabaya harus cepat-cepat pulang, kondisi kami yang sangat lelah dan hanya kasur yang ada dalam otak membuat kami hilang kendali. Hilang-hilangan di jalan dan tercerai berai. Hp lowbat, pulsa habis, komunikasi tak lancar. Di saat seperti ini, feeling lah yang kami andalkan. Sesampainya di Magelang, kami terpisah menjadi dua, Ikhsan dan Mbak Atin lewat jalur Borobudur sedangkan aku dan mayorias rombongan lewat jalan lain. Namun syukurlah, kami tiba di Jogja dengan selamat.
Sebuah petualangan yang menyenangkan ini resmi berakhir, kami memiliki cerita baru, teman baru, keluarga baru, kami saling mengenal, semakin akrab, dan kami punya pengalaman baru. Hari ini telah terukir indah dalam hati dan kenangan kami masing-masing. Jika kemarin kami masih ragu, malu, dan sungkan untuk bersapa, namun kini.... semua gila.  #SalamDolan. :D

Terimakasih sudah membaca, jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar agar hidupmu bahagia.

Yogyakarta, 19 Juni 2015. NA.


Niken Ayu. Diberdayakan oleh Blogger.